Mengajar di Ujung Luwu: Ketabahan Asmiati Menjaga Cahaya Pendidikan di Pedalaman Bastem Utara


LUWU - Langkah kecil itu dimulai dari sebuah keputusan besar: menerima penempatan sebagai guru honorer P3K di daerah terpencil. Bagi Asmiati Abdullah (51), Guru Pendidikan Agama Islam yang kini mengabdi di SDN 666 Pangiu, Kecamatan Bastem Utara (Bastura), Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, perjalanan menuju sekolah bukan sekadar rutinitas akan tetapi perjuangan harian menembus sunyi, jurang, dan jalan berlumpur demi memberikan cahaya bagi 52 siswa di lereng pegunungan tersebut.

 


Asmiati bukan satu-satunya. Bersama tiga rekannya, Jauhari, Irma Devyanti, dan Nur Fadila, mereka adalah guru perempuan yang memilih bertahan di wilayah terpencil Bastura sejak diangkat sebagai honorer P3K tahun 2022.

 

Kebahagiaan terasa saat dirinya diangkat jadi guru honorer P3K, ditempatkan di suatu sekolah yang tak pernah terlintas di pikirannya dan harus ditempuh dengan perjalanan yang cukup panjang.

 

Baginya, saat mengetahui penempatan di Bastura awalnya masih senang, namun begitu melihat medan, ia tak kuasa menahan tangis untuk pertama kali melihat medan sulit ditempuh.

 

Sebelumnya, Asmiati mengajar sebagai honorer di SDN 20 Cimpu, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, sejak 2004 hingga 2022. Ia kira dirinya akan ditempatkan di wilayah Walenrang.

 

“Saya kira Walenrang sekolahnya, tapi waktu saya cari ternyata di Bastura,” kata Asmiati, saat dikonfirmasi, Kamis (27/11/2025).

 

Asmiati mengaku tak pernah sebelumnya menginjakkan kaki di Bastem Utara. Karena itu, sebelum hari pertama dinas, ia memutuskan berangkat meninjau lokasi bersama keluarga.

 

Dengan mobil, mereka mencoba menuruni jalan menuju Pangiu. Belum jauh, warga langsung berteriak melarang.

 

“Masyarakat bilang mobil tidak bisa lewat. Kami disuruh berhenti,” kenangnya.

 

Tak ingin pulang tanpa melihat sekolah barunya, ia mengambil keputusan mendadak: menyewa motor dan melanjutkan perjalanan dengan adiknya.

 

Di tengah perjalanan, rasa haru dan takut bercampur. Jalan setapak memaksa mereka melewati sisi gunung dengan jurang menganga di sebelahnya. Perkampungan hanya sesekali terlihat, dalam perjalanannya sepanjang tujuh kilometer hanya bisa melihat ada tiga rumah terpencar.

 

“Pertama kali masuk di lokasi itu, saya menangis. Seumur hidup baru lihat medan seperti itu,” ucapnya.

 

Namun kini, ia sudah terbiasa dengan kondisi medan yang melelahkan.

 

 “Awalnya mengerikan, tapi lama-lama alhamdulillah sudah tidak takut lagi, ujarnya.

 

Untuk memulai pekan mengajar, Asmiati harus menempuh perjalanan dari rumahnya di Cimpu menuju Kota Palopo terlebih dahulu, lalu melanjutkan ke Bastura menggunakan jasa ojek.

 

Jika berangkat dari Palopo, ongkosnya Rp 120.000 sekali jalan. Tetapi bila langsung dari Cimpu, biayanya mencapai Rp 200.000. Pulang-pergi bisa menghabiskan Rp 400.000 sehari.

 

“Karena jalan tidak bagus, kita harus mengerti juga dengan tukang ojek. Biasa saya tambah seikhlasnya,” ungkapnya.

 

Saat musim hujan, medan menjadi lebih ekstrem. Jalan tanah berubah seperti kubangan kerbau. Suatu kali, ia mengalami kecelakaan yang membuatnya tak bisa berjalan normal selama seminggu.

 

“Ban motor lari ke kiri, kami jatuh ke kanan. Motor tergelincir, mau maju mundur tidak bisa. Kami terjun ke bawah, tapi alhamdulillah selamat,” jelasnya.

 

 

Tinggal di Ruang Kelas yang Disekat Gorden

 

Agar tidak terlambat mengajar, Asmiati dan ketiga rekannya memutuskan tinggal di sekolah. Tanpa rumah dinas, satu ruang kelas berukuran 6x6 meter disulap menjadi tempat tinggal.

 

“Kami sekat dengan kain Gorden, dibagi empat. Sekitar dua meter kali enam meter untuk satu orang,” tuturnya.

 

Di ruangan itu mereka tidur, memasak, belajar, dan beristirahat. Semua dilakukan di balik tirai tipis yang memisahkan ruang privasi mereka.

 

Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan penerangan dari turbin air desa yang kerap mati jika debit berkurang atau turbin rusak.

 

“Alhamdulillah, sudah dua tahun ini ada listrik PLN masuk,” ujarnya.

 

Namun kebutuhan pangan tetap menjadi tantangan. Mereka harus membawa persediaan sendiri dari kota karena pedagang di lokasi yang mereka tempati hanya menjual barang terbatas.

Mengajar 52 Siswa, Menghadapi Tradisi Pesta yang Bikin Kelas Sepi

 

Sebagai Guru Agama Islam, Asmiati mengajar siswa dari kelas 1 hingga kelas 6, totalnya ada 52 murid.

 

Anak-anak di Pangiu dikenal rajin. Namun ada satu kebiasaan masyarakat yang sempat membuatnya kewalahan.

 

“Kalau ada pesta atau orang meninggal, tiga hari anak-anak tidak datang sekolah. Paling banyak cuma sepuluh siswa,” ujarnya.

 

Namun persoalan itu perlahan membaik. Kepala sekolah kini selalu mengumumkan bahwa siswa tetap wajib hadir, dan baru boleh ke acara setelah pulang sekolah.

 

“Alhamdulillah, sudah rajin sekarang. Biasanya jam setengah tujuh sudah ada yang datang,” jelasnya.

 

Ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, Asmiati tersenyum.

 

“Selain tugas, saya suka pemandangan di sana. Udaranya segar, jauh dari hiruk pikuk,” ucapnya.

 

Asmiati juga melihat perubahan baik dalam pemahaman agama anak-anak, yang awalnya minim.

 

“Alhamdulillah mulai membaik karena anaknya rajin.”

 

Namun persoalan infrastruktur masih menjadi tantangan terbesar. Sekolah hanya memiliki enam ruang kelas, termasuk kantor. Salah satunya kini digunakan tempat tinggal guru. Akibatnya, beberapa kelas terpaksa digabung.

 

Harapan Kepada Pemerintah: Jalan, Rumah Dinas, dan Tunjangan Daerah Terpencil

 

Meski selalu tersenyum saat bercerita, Asmiati menyimpan harapan besar kepada pemerintah.

 

“Yang pertama, semoga jalan diperbaiki. Itu paling penting. Yang kedua, rumah dinas. Kalau tidak ada rumah dinas, kami terpaksa pakai ruang kelas. Yang ketiga, kalau bisa ada tambahan tunjangan untuk daerah pelosok, apalagi kami jauh dari keluarga,” harapnya.

 

Bagi Asmiati Abdullah, mengajar bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi tentang menghadirkan negara di sebuah dusun yang jauh dari keramaian. Di balik jurang, hujan, dan ruang kelas yang jadi tempat tidur, ia tetap percaya bahwa pendidikan adalah jalan sunyi yang harus ditempuh dengan kesabaran.

 

“Anak-anak di sana masa depannya bagus. Itu yang selalu saya ingat,” katanya pelan.

 

Di Bastem Utara, guru seperti Asmiati bukan sekadar tenaga pengajar. Mereka adalah penjaga cahaya di tengah sunyi pegunungan.

Previous Post Next Post