TOMOHON – Sinergi dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero), dalam pengembangan energi panas bumi kembali mencatat kemajuan. Melalui anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) yang berkonsorsium dengan PT PLN Indonesia Power (PLN IP), kedua pihak resmi mencapai kesepakatan tarif listrik dengan PT PLN (Persero) untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu Bottoming Unit berkapasitas 30 megawatt (MW).
Kesepakatan tarif ini menjadi tonggak penting dalam pengembangan proyek Ulubelu Bottoming Unit yang berlokasi di wilayah kerja eksisting PGE Ulubelu. Proyek tersebut merupakan pembangkit panas bumi berbasis teknologi binary pertama yang dikembangkan secara kolaboratif oleh PGE dan PLN IP.
PLTP Ulubelu Bottoming Unit memanfaatkan teknologi co-generation untuk mengoptimalkan panas sisa dari proses pembangkitan utama. Dengan teknologi ini, energi panas yang sebelumnya belum termanfaatkan secara maksimal dapat dikonversi menjadi listrik tambahan yang ramah lingkungan dan andal.
Selain memperkuat pasokan energi bersih, proyek ini juga menjadi bagian dari tahapan pengadaan Independent Power Producer (IPP) di PLN. Pengembangannya sejalan dengan strategi jangka menengah PGE untuk mencapai target kapasitas terpasang sebesar 1 gigawatt (GW) dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Edwil Suzandi, mengatakan bahwa kesepakatan tarif listrik tersebut menjadi langkah signifikan dalam memperkuat kerja sama strategis antara PGE dan PLN Indonesia Power.
“Kesepakatan tarif ini akan dilanjutkan dengan proses pendirian joint venture, pengadaan Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC), serta penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA). Seluruh proses tersebut akan dipercepat secara simultan mulai Januari 2026 guna mengejar target Commercial Operation Date (COD) pada tahun 2027,” ujar Edwil dalam keterangan tertulis, Selasa (24/12/2025).
Menurut Edwil, transisi energi nasional harus terus didorong melalui optimalisasi pemanfaatan energi bersih yang tersedia di dalam negeri, salah satunya panas bumi. Ia berharap pengembangan Ulubelu Bottoming Unit dapat menjadi model yang dapat direplikasi di wilayah kerja eksisting PGE lainnya.
“Proyek ini diharapkan menjadi contoh pengembangan proyek bottoming di wilayah kerja PGE lainnya, seperti Lahendong di Sulawesi Utara dan Lumut Balai di Sumatera Selatan. Ini merupakan kontribusi nyata PGE dalam memperkuat ekosistem transisi energi sekaligus ketahanan energi nasional,” katanya.
Sebelumnya, pada Agustus 2025, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) terkait pengembangan energi panas bumi pada 19 proyek eksisting dengan total kapasitas mencapai 530 MW. Sinergi tersebut difasilitasi oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara/Danantara Indonesia).
Seiring dengan percepatan pengembangan proyek-proyek tersebut, PGE dan PLN IP juga menyepakati Perjanjian Komitmen Konsorsium untuk pengembangan PLTP Ulubelu Bottoming Unit berkapasitas 30 MW serta PLTP Lahendong Bottoming Unit 1 berkapasitas 15 MW. Kedua proyek ini diharapkan mampu menambah kapasitas pembangkit hingga 45 MW melalui pemanfaatan teknologi yang lebih efisien.
Secara keseluruhan, kerja sama strategis antara PGE dan PLN membuka potensi pengembangan tambahan kapasitas hingga 1.130 MW dengan estimasi nilai investasi mencapai 5,4 miliar dolar AS. Potensi tersebut berasal dari pengembangan wilayah kerja yang telah berproduksi, sekaligus peluang eksplorasi di area-area prospektif baru.
Sebagai pionir pengembangan energi panas bumi di Indonesia dengan pengalaman lebih dari 40 tahun, PGE saat ini mengelola kapasitas terpasang sebesar 727 MW dari enam wilayah operasi. Selain itu, PGE juga tengah mengembangkan sejumlah proyek strategis, seperti PLTP Hululais Unit 1 dan 2 berkapasitas 110 MW, serta beberapa proyek co-generation dengan total kapasitas mencapai 230 MW.