LUWU - Pernikahan usia dini masih menjadi persoalan serius yang membayangi masa depan anak dan remaja di Sulawesi Selatan. Meski tren secara umum menunjukkan penurunan, praktik pernikahan anak belum sepenuhnya hilang dan masih ditemukan di berbagai daerah, termasuk di wilayah Luwu dan sekitarnya.
Di tingkat provinsi, tercatat bahwa permohonan dispensasi nikah di Sulawesi Selatan masih tergolong tinggi. Sepanjang 2022, tercatat sekitar 2.669 permohonan dispensasi nikah untuk pasangan di bawah usia minimal 19 tahun. Angka ini memang menurun dibandingkan 2020 dan 2021 yang masing-masing berada di atas 4.000 permohonan, namun tetap menunjukkan bahwa pernikahan usia anak masih menjadi persoalan nyata.
Sejumlah kasus pernikahan dini di Sulsel, salah satunya yang terjadi di Kabupaten Bulukumba pada akhir 2022. Dalam kasus tersebut, mempelai laki-laki berusia 12 tahun dan mempelai perempuan berusia 15 tahun, keduanya masih berstatus pelajar. Kasus ini memperlihatkan bahwa pernikahan anak tidak hanya berkaitan dengan dispensasi hukum, tetapi juga dipengaruhi faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Fenomena tersebut menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Luwu. Melalui sosialisasi pencegahan pernikahan usia anak yang melibatkan pelajar sekolah menengah, Pemkab Luwu mendorong penguatan kesadaran remaja agar tidak terburu-buru menikah sebelum matang secara usia, mental, dan ekonomi.
Bupati Luwu, H. Patahudding, menilai pernikahan dini sebagai masalah struktural yang berdampak langsung terhadap kualitas sumber daya manusia. Menurutnya, anak yang menikah terlalu cepat berisiko besar putus sekolah, menghadapi persoalan kesehatan reproduksi, hingga terjebak dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil.
“Ketika anak menikah sebelum siap, yang dikorbankan bukan hanya pendidikan, tetapi juga masa depan mereka sendiri. Dampaknya bisa panjang, termasuk memperkuat lingkaran kemiskinan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya peran keluarga, sekolah, dan lingkungan dalam melindungi remaja dari keputusan yang diambil tanpa pertimbangan matang. Pengaruh pergaulan dan penggunaan media sosial yang tidak terkontrol juga dinilai menjadi faktor yang kerap mendorong terjadinya pernikahan usia dini.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Luwu, Kasmaruddin, menjelaskan bahwa negara telah menetapkan batas usia minimal pernikahan 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Aturan tersebut bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi anak agar tidak masuk ke dalam pernikahan yang berisiko.
Ia menyebut pernikahan usia anak memiliki konsekuensi serius, mulai dari tingginya risiko kehamilan dan persalinan berbahaya, potensi stunting, ketidaksiapan ekonomi, hingga meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Selain itu, kesiapan mental dan psikologis remaja juga sering kali belum memadai.
“Pencegahan pernikahan usia anak harus dilakukan bersama. Pemerintah desa, sekolah, tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, dan orang tua memiliki peran penting dalam mengedukasi dan melindungi anak,” kata Kasmaruddin.
Ketua TP-PKK Kabupaten Luwu, Hj. Kurniah Patahudding, menambahkan bahwa pernikahan dini berdampak langsung pada kesehatan, psikologis, dan pendidikan remaja. Menurutnya, edukasi yang berkelanjutan menjadi kunci agar remaja mampu memahami risiko dan berani menunda pernikahan hingga benar-benar siap.
“Anak-anak perlu diberi ruang untuk belajar dan berkembang. Keputusan menikah adalah keputusan besar yang membutuhkan kesiapan fisik, mental, dan ekonomi,” ujarnya.
Dalam sosialisasi tersebut, pelajar juga dibekali pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan gizi remaja. Materi ini disampaikan untuk menegaskan bahwa pernikahan usia dini berkaitan erat dengan tingginya risiko masalah kesehatan ibu dan anak, termasuk stunting.
Melalui pendekatan edukatif yang menyasar langsung remaja, Pemerintah Kabupaten Luwu berharap kesadaran untuk menunda pernikahan dapat tumbuh sejak bangku sekolah. Upaya ini diharapkan mampu memutus mata rantai pernikahan anak dan melahirkan generasi muda Luwu yang lebih sehat, berpendidikan, dan siap menghadapi masa depan tanpa kehilangan haknya sebagai anak.
