Di lapangan, seorang jurnalis tidak hanya bekerja dengan kata-kata. Ia juga bekerja dengan gambar. Foto adalah saksi bisu yang merekam peristiwa, membekukan waktu, dan menghadirkan realitas ke hadapan publik. Dalam banyak kasus, justru gambar yang pertama kali membentuk persepsi pembaca, bahkan sebelum satu paragraf pun dibaca. Karena itulah, bagi jurnalis lapangan, kejujuran visual bukan sekadar pelengkap etika jurnalistik, melainkan fondasi kepercayaan.
Namun di era digital yang serba cepat, fondasi itu kian sering tergerus. Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah praktik melabeli gambar yang bukan milik sendiri baik dengan klaim kepemilikan personal, pemberian konteks yang menyesatkan, maupun penempelan logo media pada gambar yang sejatinya bukan karya media tersebut.
Gambar sebagai Bahasa Kekuasaan
Di ruang digital, gambar telah menjadi bahasa kekuasaan. Ia bisa menguatkan narasi, membantah pernyataan, atau bahkan menggantikan fakta. Di media sosial, sebuah foto sering dipercaya tanpa pertanyaan panjang: dari mana asalnya, kapan diambil, dan oleh siapa.
Sebagai jurnalis lapangan, saya menyaksikan bagaimana satu foto bisa mengubah suasana liputan. Warga bereaksi bukan pada data, tetapi pada visual. Masalah muncul ketika gambar yang beredar tidak lagi jujur pada asal-usulnya. Foto yang diambil entah di mana, oleh siapa, dan dalam konteks apa, dilabeli ulang dengan cerita baru yang terasa lebih “sesuai” dengan kebutuhan narasi. Di titik ini, gambar tidak lagi menjadi saksi, melainkan alat manipulasi.
Klaim Personal atas Gambar Orang Lain
Fenomena paling sederhana namun masif adalah klaim personal. Seseorang mengambil foto dari internet, lalu mengunggahnya kembali seolah-olah itu adalah dokumentasi pribadinya. Dalam konteks jurnalistik warga, praktik ini kerap terjadi: foto bencana, kecelakaan, atau peristiwa dramatis diunggah ulang dengan keterangan seakan-akan pengunggah berada di lokasi kejadian.
Bagi publik, klaim semacam ini membangun ilusi kehadiran dan otoritas. Padahal, realitasnya jauh berbeda. Gambar dicabut dari konteks aslinya, lalu ditanamkan pada narasi baru yang belum tentu benar.
Pelabelan Konteks yang Menyesatkan
Lebih berbahaya lagi adalah ketika gambar diberi konteks peristiwa yang salah. Sebagai jurnalis lapangan, saya berkali-kali menemukan foto lama yang kembali beredar saat terjadi peristiwa serupa, lalu dilabeli sebagai kejadian terkini.
Misalnya, foto banjir di daerah tertentu yang diambil bertahun-tahun lalu kembali digunakan untuk menggambarkan banjir hari ini. Bagi publik awam, perbedaannya nyaris tak terlihat. Namun secara jurnalistik, ini adalah kesalahan fatal. Visual yang salah konteks akan melahirkan kesimpulan yang salah, kemarahan yang salah sasaran, dan penilaian publik yang keliru.
Ketika Media Ikut Melabeli Secara Keliru
Ironisnya, praktik melabeli gambar yang bukan milik sendiri tidak berhenti pada individu. Banyak media juga terjebak dalam pola serupa. Demi kecepatan publikasi, gambar dari media sosial warga, grup percakapan, atau arsip lama digunakan untuk melengkapi berita, lalu ditempeli logo media tanpa keterangan sumber yang jelas.
Di mata pembaca, logo media bukan simbol netral. Ia adalah pernyataan tanggung jawab editorial. Ketika logo itu menempel pada gambar yang bukan hasil liputan media tersebut, publik dengan mudah menganggap foto itu sebagai karya jurnalis media itu diambil di lokasi, diverifikasi, dan merepresentasikan fakta lapangan.
Sebagai jurnalis lapangan, saya memahami tekanan redaksi untuk cepat. Namun saya juga tahu bahwa logo media pada gambar bukan sekadar identitas distribusi. Ia adalah klaim kepemilikan simbolik. Ketika klaim itu tidak jujur, media secara tidak sadar sedang merusak kredibilitasnya sendiri.
Menghapus Jejak Pemilik Asli
Bagi fotografer, warga, atau jurnalis lepas yang mengambil gambar pertama kali, penempelan logo media tanpa atribusi adalah bentuk penghapusan identitas. Karya mereka diambil alih oleh institusi yang lebih besar, sementara nama dan konteks asli lenyap dari ruang publik.
Dalam jurnalisme, ini bukan sekadar soal hak cipta, tetapi soal keadilan. Media yang seharusnya menjadi teladan justru memperlihatkan praktik yang membingungkan batas antara dokumentasi asli dan kurasi visual.
Distorsi Ingatan Kolektif
Dampak jangka panjang dari semua ini adalah distorsi ingatan kolektif. Gambar yang terus beredar dengan label salah akan dianggap sebagai kebenaran. Publik mengingat visual, bukan klarifikasi. Fakta asli terkubur di balik viralitas.
Ketika masyarakat terbiasa melihat gambar tanpa sumber yang jelas, literasi visual melemah. Foto tidak lagi dipertanyakan, tidak diverifikasi, dan tidak diperlakukan sebagai dokumen yang memiliki konteks.
Catatan dari Lapangan: Kejujuran Masih Mungkin
Sebagai jurnalis lapangan, saya percaya bahwa kejujuran visual masih mungkin dipertahankan. Caranya sederhana, namun membutuhkan keberanian etis: menyebut sumber gambar dengan jelas, membedakan antara foto liputan dan foto ilustrasi, serta tidak menempelkan logo media pada karya yang bukan milik sendiri tanpa penjelasan.
Kecepatan boleh dikejar, tetapi kepercayaan tidak bisa dibangun dengan jalan pintas.
Di era ketika gambar berbicara lebih keras daripada kata-kata, kejujuran dalam melabeli visual menjadi ujian utama integritas media. Melabeli gambar yang bukan milik sendiri baik oleh individu maupun media adalah praktik kecil yang berdampak besar.
Bagi jurnalis lapangan, gambar bukan sekadar pelengkap berita. Ia adalah janji pada publik bahwa apa yang ditampilkan adalah bagian dari realitas, bukan ilusi yang dipoles oleh kebutuhan viral. Dan janji itu, sekali dilanggar, sulit untuk ditebus kembali.
