JAKARTA – Save the Children Indonesia menghadirkan karya seni multidimensi bertajuk “Aku, Kamu, Kita adalah Bumi” sebagai ruang ekspresi anak-anak untuk menyuarakan dampak krisis iklim yang semakin mengancam kehidupan mereka. Pertunjukan imersif ini juga menjadi wadah agar suara anak dapat berkontribusi dalam perumusan solusi iklim di Indonesia.
Save the Children menyebut krisis iklim sebagai salah satu ancaman terbesar bagi pemenuhan hak anak. Riset Global Save the Children 2025 berjudul Born Into the Climate Crisis 2 menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir pada dekade ini diproyeksikan menghadapi bencana iklim dalam skala yang belum pernah dialami generasi sebelumnya.
“Hampir semua anak yang lahir sejak 2020 akan mengalami lebih banyak gelombang panas, banjir sungai, kekeringan, kebakaran hutan, hingga kegagalan panen dibanding generasi kakek-nenek mereka,” demikian kesimpulan utama riset tersebut.
Anak Hadapi Krisis Iklim Saat Ini
CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar, menegaskan bahwa dampak krisis iklim bukanlah isu masa depan.
“Krisis iklim bukan isu masa depan, ini adalah krisis saat ini. Anak-anak merasakannya hari ini; rumah mereka terkena banjir, sekolah terganggu, kesehatan terancam,” ujar Dessy.
“Pertunjukan hari ini menyampaikan pesan pada kita semua bahwa anak-anak tidak hanya ingin didengar, tetapi siap menjadi pelopor aksi iklim. Kita sebagai orang dewasa punya tanggung jawab untuk memastikan suara mereka diterjemahkan menjadi kebijakan dan aksi nyata.”
Anak Perempuan Terdampak Ganda
Riset Save the Children Indonesia 2025 juga menyoroti beban berlapis yang dialami anak perempuan baik di perkotaan maupun pedesaan akibat krisis iklim.
Di Jakarta Timur, banjir berulang dan panas ekstrem memperberat tugas domestik yang sering dibebankan kepada anak perempuan, mulai dari memasak, mengambil air, mengasuh adik, hingga membersihkan rumah pascabencana.
Sementara itu di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kekeringan dan kelangkaan air semakin membatasi akses sanitasi aman dan kesehatan reproduksi, serta meningkatkan risiko keselamatan saat anak perempuan harus berjalan jauh untuk mengambil air.
Meski menghadapi tekanan ganda, anak perempuan tetap menunjukkan kapasitas adaptasi dan kesadaran lingkungan yang kuat. Save the Children menyebut mereka sebagai “agen perubahan penting dalam ketahanan iklim”.
Pertunjukan Imersif dan Seruan untuk Menjadi “Pahlawan Bumi”
Pertunjukan “Aku, Kamu, Kita adalah Bumi” menghadirkan kolaborasi antara Save the Children, Purwacaraka Music Studio, dan Saung Angklung Udjo. Acara diikuti lebih dari 1.000 peserta dengan tiga sesi pertunjukan, bazar eco-friendly, hingga instalasi imersif tentang Bumi dan suara anak.
Dalam sambutannya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, mengajak seluruh anak untuk menjadi “pahlawan bumi”.
“Jadilah detektif sampah, jangan biarkan sampah berceceran. Jadilah pasukan anti plastik dan kurangi penggunaan plastik. Jadilah penjaga air dengan berhemat, karena setiap tetes air sangat berharga,” ujarnya.
“Mari kita semua anak-anak hebat Indonesia berjanji menjadi pahlawan super bagi bumi kita.”
Aksi Generasi Iklim
Acara ini juga menjadi bagian dari Kampanye Nasional Aksi Generasi Iklim, inisiatif Save the Children sejak 2022 yang dipimpin oleh anak dan orang muda. Kampanye ini bertujuan memperkuat kapasitas keluarga terdampak krisis iklim dalam beradaptasi sekaligus mendorong kebijakan iklim yang lebih berpihak pada anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menekankan pentingnya keterlibatan bermakna anak dalam isu iklim.
“Anak mengisi sepertiga penduduk Indonesia. Tidak terbayangkan apabila seluruh anak memiliki literasi dan melakukan aksi nyata bagi bumi seperti para Child Campaigner ini. Mereka adalah pewaris bumi di masa depan,” ungkapnya.
“Penting bagi kita untuk terus berkolaborasi agar suara dan keterlibatan anak lebih bermakna.”
Acara ini turut mendapat dukungan dari Lego Foundation, BSI Maslahat, Grab Indonesia, dan Gramedia.
