Sebagai
negara agraris, Indonesia memiliki sektor pertanian yang kuat dan dikenal
sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Sebagai peringkat ketiga di
dunia, sektor pertanian ini menghadapi tantangan berat karena menjadi sektor
dengan penyumbang pekerja anak terbesar, utamanya bagi masyarakat pedesaan.
Di
Indonesia, hasil Sakernas 2020 mencatat sekitar 9 dari 100 anak usia 10-17
tahun bekerja, di mana sebagian besar di sektor informal sebesar 88,77% dan 3
dari 4 anak yang bekerja merupakan pekerja yang tidak dibayar/pekerja keluarga.
Lebih
rinci, berdasarkan data penilaian pekerja anak di Indonesia dalam sektor
pertanian dan rekomendasi untuk Modelez International di tahun yang sama
menyebutkan terdapat lebih dari 4 (empat) juta pekerja anak di Indonesia dan
20,7% di antaranya terjebak menjalani Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak
(BPTA).
Meningkatnya
kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya BPTA,
menjadi indikasi bahwa system perlindungan terhadap anak masih perlu diperkuat
agar terjadi perubahan norma sosial yang melindungi, peningkatan partisipasi
dan kecakapan hidup anak, serta keterlibatan masyarakat dalam monitoring dan
penanganan pekerja anak yang komprehensif.
Masalah
kekerasan terhadap anak ini juga terjadi pada masyarakat petani, sebagian besar
dipengaruhi oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan ekosistem layanan
perlindungan anak yang tidak memadai.
Melihat
maraknya eksploitasi anak, banyak pihak telah bergerak, diantaranya masyarakat
pentahelix sesuai dengan kewenangan dan kapasitas yang dimiliki. Pemerintah
Indonesia melalui kebijakan Zona Bebas Pekerja Anak telah menggandenng
pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, masyarakat dan media untuk
mewujudkan Indonesia Bebas Pekerja Anak pada tahun 2022.
Sistem
pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak
melalui skema Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) diterapkan sejak tahun 2006,
hingga saat ini sudah 435 kabupaten/kota mendeklarasikan diri menuju KLA, yang
diperkuat dengan implementasi di tingkat hulu melalui Desa Ramah Perempuan dan
Peduli Anak (DRPPA) di mana penanganan Pekerja Anak menjadi salah satu
indikator yang dievaluasi.
“Penghapusan
pekerja anak di Indonesia merupakan salah satu dari lima arahan prioritas
Presiden Joko widodo kepada Kemen PPPA, untuk itu kami menargetkan jumlah
pekerja anak usia 10-17 tahun yang bekerja, bisa terus kita turunkan
angkanya sampai serendah-rendahnya,” kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga.
Sejumlah
strategi diterapkan antara lain dengan mengembangkan basis data pekerja anak,
memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan terkait
pekerja anak, dan mainstreaming isu pekerja anak dalam kebijakan dan program
perlindungan khusus anak di kabupaten/kota. Selanjutnya mengembangkan model
desa ramah perempuan dan peduli anak sebagai pendekatan untuk pencegahan
pekerja anak, mengembangkan pemantauan dan remidiasi pekerja anak, serta
mengoordinasikan untuk penanggulangan pekerja anak pada 4 sektor prioritas
yakni pertanian, perikanan, jasa, dan pariwisata.
Di
tingkat nasional, sejak tahun 2018 Kementerian PPN/BAPPENAS bersama JARAK menginisasi
forum kemitraan multistakeholders untuk penanggulangan
pekerja anak di sektor pertanian, yaitu PAACLA Indonesia. Forum kemitraan
menggandeng unsur pemerintah dari tingkat pusat dan daerah, sektor bisnis, dan
lembaga-lembaga masyarakat, untuk bersinergi menanggulangi pekerja anak di
tingkat petani dan pedesaan. Lebih dari 35 organisasi saat ini menjadi anggota
aktif PAACLA Indonesia.
Kemenaker
berkomitmen dalam upaya penghapusan pekerja anak dari berbagai jenis pekerjaan
terburuk dengan membuat kebijakan program menyeluruh, berkesinambungan dalam
mengatasi permasalahan pekerja anak dan bentuk pekerjaan terburuk anak
Serta
penarikan pekerja anak dengan melakukan pengawasan norma kerja anak berupa
perlindungan hak anak serta mengembalikan anak ke dunia pendidikan dari bahaya
dunia kerja guna terciptanya zona bebas pekerja anak 2022.
Lembaga
masyarakat seperti JARAK dan Save the Children Indonesia juga turut bergerak
cepat untuk menanggapi tantangan pekerja anak. Salah satunya di sektor
pertanian kakao melalui program Sistem Pemantauan dan Remediasi pekerja anak / Child
Labour Monitoring and Remediation System (CLMRS). Beberapa
gerakan yang sudah dilakukan di antaranya adalah aktivasi CLMRS di 83 desa di
Sulawesi Selatan, Lampung, dan Sumatera Barat. Sementara itu JARAK
mengembangkan CLMRS untuk pekerja anak di sektor pemulung, di 12 Kota di
Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
“Program
CLMRS di Save the Children sudah dijalankan sejak 2019 dan secara aktif
memastikan aktivasi dan koordinasi pemantauan yang tepat dan respons yang
efektif terhadap masalah pekerja anak. Tujuannga untuk memastikan bahwa anak
dan kaum muda yang dipekerjakan berada dalam keadaan aman dari eksploitasi dan
bahaya di tempat kerja,” tutur Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children
Indonesia.
Tim
Save the Children Indonesia juga memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas
kepada kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan turun
langsung untuk meningkatkan kesadaran bagi petani Kakao, orang tua, dan
masyarakat setempat bahwa anak-anak punya hak yang harus dipenuhi, alih-alih
menyuruh mereka ikut bekerja dalam sektor pekerjaan yang tidak ramah anak.
Selain
itu, Save the Children Indonesia juga membuat produk komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) berupa lembar bergambar, stiker, dan poster terkait perlindungan
anak.
“Terus
terang, pertama kali saya dengar risiko berbahaya pada anak ke kebun, itu
membingungkan. Apa coba hubungan anak dengan kebun kakao?” Jelas Sukur (42
tahun), Ketua PATBM desa Maccolliloloe, “Tapi, berkali-kali pertemuan dan
sosialisasi dilakukan, saya mulai memahami, ada ancaman yang mengintai anak
ketika dilibatkan dalam pekerjaan yang berisiko. Sementara mereka belum
terlatih dan belum siap,” lanjutnya.
Keterlibatan
anak dalam pertanian kakao berisiko tinggi terhadap perlindungan anak, seperti
pemupukan dan penyemprotan pestisida tanpa alat pelindung diri (APD) yang
memadai, pemangkasan, dan pemecahan buah kakao. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berbagai cedera akibat alat yang digunakan. Tanpa penegakan
kebijakan mengenai peraturan kesehatan dan keselamatan yang sesuai, anak-anak
dikhawatirkan akan terus berada dalam risiko.
Penyadaran
masyarakat terkait pekerja anak di Indonesia masih harus melalui jalan panjang.
Masyarakat harus terlibat secara aktif untuk ikut bersuara dan mengadvokasi
kasus-kasus yang menimpa pekerja anak di sekitar mereka. Oleh karena itu,
inisiasi PATBM dari Save the Children Indonesia yang langsung melibatkan
masyarakat diharapkan dapat terus bergerak dalam pemenuhan hak-hak anak.