Di Ujung Asa, Warga Seko Tandu Pasien Lewati Rakit Bambu dan Jalan Ekstrem Menuju Puskesmas


LUWU UTARA – Di Desa Tanahmakaleang, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, setiap perjalanan menuju layanan kesehatan bukan sekadar perjalanan biasa. Ia adalah pertaruhan nyawa.


Pada Rabu (19/11/2025) pagi, sekelompok warga kembali harus berjibaku menandu seorang perempuan bernama Irmawati (50), warga Desa Tanah Makaleang, yang menderita komplikasi penyakit dan kondisinya kian memburuk. Dalam keadaan lemah dan hampir lumpuh, satu-satunya harapan Irmawati adalah tiba di Puskesmas Seko, pusat pelayanan kesehatan terdekat yang berjarak puluhan kilometer dari rumahnya.


Namun jarak bukan satu-satunya rintangan. Akses menuju Eno, ibu kota Kecamatan Seko, adalah perjalanan yang menguji ketahanan fisik sekaligus perasaan.


Bertarung dengan Lumpur, Bukit, dan Arus Sungai

Sejak subuh, warga mengikat bambu menjadi tandu darurat. Dengan hati-hati mereka mengangkat Irmawati. Setiap langkah menjadi perjuangan: jalan berlumpur, kubangan sedalam lutut, tanjakan bukit, hingga punggungan pegunungan yang licin usai diguyur hujan.


Di beberapa titik, warga harus berhenti, bukan untuk beristirahat, tetapi untuk mencari jalur yang tidak membuat tandu terguling.


Yanne, salah seorang warga yang ikut mengantar, mengatakan bahwa penderitaan warga Seko untuk mendapatkan layanan kesehatan sudah terlalu sering terjadi.


“Ini adalah perjalanan kami dari Desa Tanah Makaleang menuju Eno, ibu kota Kecamatan Seko. Kami harus mengusung keluarga kami yang sakit,” ujarnya.


Ketika rombongan tiba di Desa Embonatana, perjalanan berubah kian dramatis. Jembatan penghubung yang menjadi satu-satunya akses menuju enam desa di Seko Barat tak lagi bisa dilalui. Bukan hanya rusak, sebagian konstruksi sudah nyaris ambruk.


Di hadapan mereka tinggal sungai dengan arus deras.

“Kami menandu keluarga kami, lalu memindahkan ke rakit bambu kecil. Kami harus melewati sungai yang arusnya deras sekali,” kata Yanne.


Perjalanan 10 Jam Menuju Puskesmas

Bonar Suito, Sekretaris Desa Padang Balua, menyebut hari itu sebagai salah satu hari paling berat bagi warga Seko.


“Hari ini, kami kembali merasakan pahitnya perjuangan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak,” ujarnya.


Menurut Bonar, perjalanan menuju Puskesmas Seko memakan waktu hingga 10 jam. Irmawati sempat mendapat perawatan awal, namun kondisinya membuat ia harus dirujuk ke RS Andi Djemma Masamba, ibu kota Kabupaten Luwu Utara.


“Jembatan itu dibangun swadaya tahun lalu. Tapi sekarang sudah rusak parah dan sama sekali tidak bisa dilalui,” kata Bonar.


Dari keterangan pemerintah desa, jembatan tersebut berada pada jalur kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.


“Itu satu-satunya akses menuju ibu kota kecamatan dari enam desa di Seko Barat. Kami berharap pemerintah provinsi menganggarkan dan memperbaiki jembatan itu. Jangan sampai akses kami terputus total,” kata Bonar.


Suara dari Pelosok yang Tertinggal

Bagi warga Seko, kejadian seperti ini bukan baru. Mereka telah bertahun-tahun hidup dengan kondisi infrastruktur minimal, jalan yang rusak, dan jembatan yang hanya bertahan sebentar sebelum kembali ambruk.


“Beginilah kondisi jembatan kami. Sudah rusak. Kami hanya masyarakat kecil di pelosok yang tertinggal dan terjauh. Kami berharap pemerintah benar-benar mendengar keluhan kami,” kata Yanne.


Di saat warga kota bisa mencapai puskesmas dalam hitungan menit, warga Seko membutuhkan separuh hari untuk mendapatkan layanan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara.


Namun hari itu, mereka tetap berjalan. Tetap berharap. Tetap membawa Irmawati dengan segala tenaga yang mereka punya.


Karena di Seko, gotong royong bukan pilihan melainkan satu-satunya cara untuk bertahan.


Previous Post Next Post