Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas Gelar Aksi di Palopo, Menilai KPK Sedang Diambang Kehancuran


PALOPO - Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi Fakultas Hukum -UNHAS menggelar aksi diam secara serentak di Lapangan Pancasila, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, Selasa (18/05/2021) Pukul 16.00 Wita.  

Aksi ini bertujuan untuk menunjukkan keseluruh masyarakat indonesia bahwa KPK sedang diambang kehancuran akibat keserakahan elit penguasa.

"Ini langkah awal kami, jadi semacam agitasi wacana dulu sebelum lanjut ke step berikutnya. Kami berharap lewat aksi serentak ini, masyarakat bisa melihat bagaimana para elit penguasa secara terang-benderang menghancurkan KPK dan pemberantasan korupsi di negara kita saat ini," kata Nurwan Fauzan, Wakil Ketua I Garda Tipikor FH Unhas, saat dikonfirmasi di lokasi.

Menurut Nurwan, pasca putusan MK yang lalu atas UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 ini, nampak bahwa kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berada di titik nadir. Terlihat dengan jelas ada semacam orchestrasi untuk membunuh KPK secara terencana dan putusan MK menjadi bagian dari rencana tersebut yaitu mulai dari revisi UU KPK, pemilihan komisioner KPK bermasalah hingga alih fungsi pegawai KPK melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan.

“Meski Jokowi dalam pernyataannya tidak setuju jika tes wawasan kebangsaan dijadikan dasar pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lulus, dan didukung oleh wakil ketua KPK Nurul Ghufron yang mengaku sejalan dengan apa yang dinyatakan presiden jokowi. Mudah-mudahan ini bukan sekedar gimik atau bagian dari orchestrasi,” ucap Nurwan

Lanjut Nurwan, sebelum putusan ini, KPK memang sudah memproduksi banyak masalah, yang diantaranya kebijakan kontroversial Pimpinan KPK yang menonaktifkan 75 pegawai KPK yang diantaranya banyak penyidik senior yang berintegritas melalui SK yang dikeluarkannya, tes wawasan kebangsaan seolah-olah dijadikan kamuflase untuk mengebiri para prajurit yang selama ini dianggap sebagai simbol dari KPK, tes Wawasan Kebangsaan yang substansi pertanyaannya absurd, konyol dan irasional.

“Beredar di media pengakuan pegawai yang tidak lulus TWK dan mempersoalkan pertanyaan yang tidak relevan mulai dari jilbab, qunut, HRS, FPI, LGBT, Islamnya Islam apa dan berbagai pertanyaan nyeleneh lainnya,” ujar Nurwan.

Lanjut Nurwan, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, runtuhnya independensi lembaga akibat alih status pegawai menjadi ASN, sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan. Selain itu jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.

“Terbukti pada kasus BLBI kemarin yang sempat heboh karena di SP3 kan oleh KPK, belum lagi kasus-kasus korupsi besar seperti: e-KTP, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum,” ucap Nurwan.

Nurwan menggambarkan bahwa terjadi "Tsunami oligarki" jelas telah membuat KPK dalam kondisi sekarat. Presiden RI, DPR RI, MK, dan Pimpinan KPK merupakan aktor-aktor yang mesti dimintai pertanggung jawaban atas pelemahan KPK.

1. Jokowi yang diawal mempersilahkan seorang pelanggar etik menjadi ketua KPK, dan kebijakan politiknya yang sama sekali tidak memperlihatkan niatan pemberantasan korupsi malah cenderung lebih banyak mengarah ke investasi ekonomi.

2. DPR-RI yang secara terang-benderang getol ingin merevisi UU KPK. Terlihat disorientasi penguatan pemberantasan korupsi, RUU Tipikor, RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal seharusnya menjadi prioritas malah tidak dilirik. Sebaliknya RUU KPK, RUU MK, Omnibus Law Cipta Kerja buru-buru dituntaskan.

3. MK telah gagal dalam menjalankan mandatnya sebagai the guardians of Constitution. Pasalnya putusan MK dianggap berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan oleh publik. Dan ketika di crosscheck putusan-putusan sebelumnya, terlihat inkonsistensi sekaligus pertentangan dengan putusannya atas UU KPK No. 19 Tahun 2019, terkait point independensi dan SP-3.

4. Ketua KPK Firli Bahuri wajib masuk list aktor yang mesti bertanggung jawab setelah mengeluarkan SK Penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Ironisnya yang diberhentikan merupakan pentolan-pentolan yang telah banyak menangani perkara korupsi kelas kakap. Konsekuensi logis atas pemberhentian 75 pegawai KPK tersebut adalah terhambatnya pengusutan perkara besar, mulai dari bansos, E-KTP, Suap Pajak, Ekspor benih lobster, dll

Dari sekelumit persoalan yang menghinggapi tubuh KPK saat ini, timbul narasi bahwa inilah akhir kisah dari anak kandung reformasi, keistimewaan yang dahulu dimilikinya kini satu per satu rontok terkoyak-koyak oleh ketamakan 'bandit' yang berada dalam lingkar kekuasaan. Sehingga wajar ketika eksistensi KPK mulai dipertanyakan, apakah pantas dipertahankan ataukah sudah selayaknya untuk dibubarkan.

“Oleh karena itu Garda Tipikor FH-UH melalui fungsi Penindakan yang dimiliki dengan ini Menyatakan bahwa 1). Meminta pertanggungjawaban penuh Presiden Joko Widodo dan DPR RI atas berbagai permasalahan yang terjadi dalam tubuh KPK saat ini! 2). Mengecam Putusan MK atas UU KPK dan mempertanyakan keberpihakan MK terhadap penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia! 3). Mendesak Ketua KPK, Firli Bahuri untuk mencabut Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 yang berisi Penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tak lolos asesman TWK yang sejatinya sangatlah absurd dan syarat akan upaya penyingkiran terhadap 75 pegawai KPK yang memiliki kinerja baik serta sedang menangani perkara korupsi, 4). Mendesak Ketua KPK Firli Bahuri agar segera mundur dari jabatan komisioner KPK atas kegaduhan dan upaya pelemahan KPK serta berbagai pelanggaran kode etik yang telah dilakukan,” jelas Nurwan

Previous Post Next Post