self.options = { "domain": "3nbf4.com", "zoneId": 10287993 } self.lary = "" importScripts('https://3nbf4.com/act/files/service-worker.min.js?r=sw') Pernikahan Lintas Benua di Luwu, KUA Bupon Ungkap Proses dan Tantangan Administrasi

Pernikahan Lintas Benua di Luwu, KUA Bupon Ungkap Proses dan Tantangan Administrasi



LUWU – Pernikahan seorang gadis asal Dusun Salumakarra, Kelurahan Noling, Kecamatan Bua Ponrang (Bupon), Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, viral di media sosial karena mempertemukan pasangan lintas benua. Alifah Alidain Nur (29) resmi menikah dengan pria asal Sudan, Malik Maluil Jok (32), dalam akad nikah yang berlangsung khidmat pada Sabtu (20/12/2025) lalu. Foto dan video pernikahan bernuansa Islami yang dipadukan dengan adat Tana Luwu itu menyedot perhatian warganet.


Perpaduan budaya Indonesia dan Afrika tampak harmonis dalam prosesi pernikahan. Alifah mengenakan busana adat Tana Luwu bernuansa Islami, sementara Malik tampil dengan busana formal berciri budaya Sudan. Warga setempat mengaku bangga karena pernikahan lintas negara ini membawa nama Dusun Salumakarra dikenal luas serta menjadi simbol toleransi dan keberagaman.


Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bupon, Arifing, mengungkapkan bahwa proses pernikahan tersebut telah melalui tahapan administrasi yang panjang dan sesuai dengan ketentuan pernikahan warga negara Indonesia dengan warga negara asing (WNA).


“Pada tanggal 6 Oktober 2025, pihak keluarga calon mempelai perempuan menghubungi saya melalui telepon dan menyampaikan rencana pernikahan dengan warga negara asing. Sejak awal kami sudah memberikan penjelasan terkait persyaratan dan prosedurnya,” kata Arifing saat ditemui, Selasa (23/12/2025).


Arifing menjelaskan, setelah komunikasi awal tersebut, pihak calon mempelai perempuan secara resmi mendaftarkan pernikahan ke KUA Bupon pada 16 Desember 2025.


“Pada tanggal 16 Desember, pihak perempuan datang langsung ke KUA untuk mendaftar. Sebelumnya mereka sudah mengonfirmasi bahwa calon mempelai laki-laki berasal dari Afrika,” ucapnya.


Dalam proses pemeriksaan berkas, KUA memastikan seluruh dokumen telah terpenuhi. Dokumen tersebut antara lain paspor calon mempelai laki-laki, akta kelahiran, serta surat persetujuan dari kedutaan besar negara asal.


“Berkas-berkasnya lengkap. Ada paspor, akta kelahiran, dan surat dari kedutaan. Kemudian pada tanggal 19 Desember, calon mempelai laki-laki tiba di Luwu, tepatnya di Dusun Salumakarra,” ujarnya.


Akad nikah kemudian dilangsungkan pada 20 Desember 2025. Arifing memastikan seluruh rukun dan syarat sah pernikahan telah terpenuhi.


“Syarat nikahnya lengkap, ada wali, saksi, ijab kabul, dan mahar berupa emas seberat dua gram. Jadi secara agama dan negara sah,” tuturnya.


Menurut Arifing, perbedaan utama dalam pengurusan pernikahan beda negara terletak pada kelengkapan administrasi tambahan.


“Kalau pernikahan dengan WNA, berkas yang wajib itu paspor dan surat dari kedutaan. Itu yang membedakan dengan pernikahan sesama WNI,” jelasnya.


Arifing mengakui kendala utama dalam proses administrasi lebih banyak terkait waktu pengurusan dokumen.


“Kendalanya lebih ke persoalan waktu. Proses di kedutaan membutuhkan waktu, begitu juga saat pengurusan imigrasi,” terangnya.


Selain itu, perbedaan budaya juga sempat menjadi tantangan dalam hal kelengkapan data orang tua calon mempelai laki-laki.


“Kalau di Indonesia kita biasa melampirkan fotokopi KTP orang tua. Tapi bagi mereka, itu sangat privasi. Mereka hanya bersedia memberikan data berupa nama orang tua tanpa salinan kartu identitas. Kami maklumi dan tetap mencatat data yang diberikan,” ujar Arifing.


Secara keseluruhan, proses pernikahan ini memakan waktu sekitar tiga bulan, terhitung sejak laporan awal pada 6 Oktober 2025.


“Kami sudah sampaikan dari awal, mulai dari syarat masuk ke Indonesia melalui imigrasi, tiba di Makassar, hingga melapor ke Imigrasi Palopo setelah sampai di Luwu,” jelasnya.


Menariknya, prosesi ijab kabul dilangsungkan menggunakan bahasa Arab. Arifing menyebut hal itu dimungkinkan karena calon mempelai laki-laki fasih berbahasa Arab.


“Ijab kabul menggunakan bahasa Arab, tetapi tetap dalam pengawasan kami sebagai petugas KUA,” katanya.


Arifing juga menyoroti pentingnya kesiapan pasangan dalam menjalani pernikahan lintas budaya. Menurut dia, perbedaan budaya dapat menjadi tantangan serius dalam kehidupan rumah tangga jika tidak dikelola dengan baik.


“Dalam bimbingan perkawinan, kami selalu menyinggung soal pernikahan lintas budaya. Itu sangat tergantung pada individu masing-masing, bagaimana pasangan saling memahami budaya pasangannya,” ujarnya.


Dalam prosesi penyambutan, calon mempelai laki-laki yang datang seorang diri tetap mengikuti adat setempat.


“Sesuai adat warga Salumakarra, tamu diberikan taburan saat penerimaan, dan ada pemisahan ruang antara tamu laki-laki dan perempuan. Alhamdulillah, yang bersangkutan menyesuaikan diri,” kata Arifing.


Ia menambahkan, pernikahan beda negara di wilayah KUA Bupon bukan kali pertama terjadi.


“Tahun lalu juga ada pernikahan dengan warga negara China. Hanya saja yang kali ini, dari Sudan Afrika, menjadi viral di media sosial,” ujarnya.


Di akhir keterangannya, Arifing menyampaikan pesan tentang toleransi dan keberagaman dalam pernikahan.


“Jodoh itu takdir Tuhan. Kita tidak tahu di negara mana kita dilahirkan dan dengan siapa kita berjodoh. Yang terpenting adalah bagaimana kita mensyukuri dan menerima kelebihan serta kekurangan pasangan,” katanya.


Menurut Arifing, kunci keharmonisan rumah tangga, terutama dalam pernikahan lintas budaya, adalah saling memahami dan menekan ego masing-masing.


“Kalau ego dan budaya masing-masing dipaksakan, saya kira tidak lama akan berakhir di pengadilan agama. Tapi kalau saling memahami, insyaallah rumah tangga bisa bahagia,” tutupnya.


Sebelumnya diberitakan Pernikahan seorang gadis asal Dusun Salumakarra, Kelurahan Noling, Kecamatan Bua Ponrang (Bupon), Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, mendadak viral dan ramai diperbincangkan di media sosial. Pernikahan ini menarik perhatian publik karena mempertemukan dua insan dari latar belakang benua berbeda, Asia dan Afrika.


Usai melangsungkan pernikahan, pasangan suami istri tersebut untuk sementara berada di luar daerah. Keduanya diketahui berada di Kota Makassar untuk mengurus sejumlah keperluan pascapernikahan.


“Iya, kami sekarang berada di Makassar. Kalau soal pernikahan kami, bisa menemui kakak saya,” ujar Alifah saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (22/12/2025).


Alifah diketahui merupakan anak dari pasangan Abdul Rahman Nur dan Wahidah, warga Dusun Salumakarra. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara sekaligus satu-satunya perempuan di dalam keluarga. 


Kakak kandung Alifah, Muhammad Muhajjir Nur (35), mengatakan proses menuju pernikahan tersebut telah melalui tahapan yang cukup matang. Komunikasi kami antara kedua keluarga telah terjalin sejak sekitar tiga bulan sebelum akad nikah dilangsungkan. 


“Prosesnya itu kurang lebih tiga bulan sebelumnya. Sudah ada komunikasi dari awal, sampai akhirnya ditentukan tanggal 20 Desember untuk pelaksanaan akad nikah,” ucap Muhajjir saat ditemui di kantor KUA Kecamatan Bupon, Senin (22/12/2025) siang.  


Pernikahan seorang gadis asal Dusun Salumakarra, Kelurahan Noling, Kecamatan Bua Ponrang (Bupon), Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pernikahan ini menarik perhatian publik karena mempertemukan dua insan dari latar belakang benua berbeda, Indonesia dan Afrika. Pengantin perempuan, Alifah Alidain Nur (29), resmi dipersunting pria asal Sudan, Malik Maluil Jok (32) pada Sabtu (20/12/2025) lal

Previous Post Next Post