Setelah Dua Dekade Mengabdi, Kepsek SMP 1 Bua Ponrang, Nurhasan Meminta Presiden Prabowo Mengembalikan Haknya


LUWU - Nurhasan (62) masih mengingat jelas hari ketika hidupnya berubah. Sejak 1998 ia mengabdi sebagai guru dan pernah menjabat Kepala SMP Negeri 1 Bua Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Namun, ia tak pernah membayangkan masa pengabdiannya berakhir dengan status pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).


Padahal, masa pensiunnya tinggal sekitar satu tahun lagi setelah lebih dari dua dekade mengajar. Vonis pengadilan pada 2020 dan keputusan PTDH dari Pemerintah Kabupaten Luwu membuatnya kehilangan jabatan, penghasilan, dan nama baik yang ia bangun selama puluhan tahun.


Hari yang Mengubah Segalanya

Kisah itu bermula pada 2018. Saat itu, Nurhasan berada di Kantor Dinas Pendidikan Luwu mengikuti rapat terkait proyek rehabilitasi delapan ruang kelas di sekolahnya.


Di tengah rapat, telepon tak dikenal masuk. Ia diminta segera kembali ke sekolah.

“Saya kira hanya ada anak-anak berkelahi, karena di sana memang rawan perkelahian,” kenangnya saat ditemui Senin (24/11/2025).


Namun sesampainya di sekolah, situasi sudah mencekam. Polisi melakukan penggerebekan.

“Uang yang disita itu Rp 91 juta. Katanya ada OTT, padahal saya tidak ada di sekolah. Saya sedang di Dinas,” ujarnya.


Uang tersebut, kata dia, merupakan pembayaran pakaian sekolah—baju batik, baju olahraga, atribut, serta iuran koperasi—yang telah disepakati orangtua melalui komite.

“Saya hanya memfasilitasi tempat rapat. Semua keputusan ada pada komite,” ucapnya.


Namun proses hukum berjalan cepat. Nurhasan divonis bersalah dan dipenjara dua tahun.


Dari Kepala Sekolah Menjadi Petani

Setelah keluar dari penjara, kenyataan pahit menantinya: ia diberhentikan sebagai ASN.

“Padahal saya tinggal mengabdi satu tahun lagi kalau tidak dipecat,” katanya.

Kini, di usia 62 tahun, ia kembali ke pekerjaan lamanya sebagai petani.

“Tenaga sudah tidak seperti waktu muda. Jadi saya hanya pasrah,” katanya pelan.

Ia juga mengaku tidak menerima uang pensiun akibat keputusan PTDH. Ia mempertanyakan dasar pemidanaan kasusnya, karena pembayaran pakaian sekolah menurutnya adalah praktik umum dan disetujui orangtua.


“Kenapa hanya saya? Di sekolah lain malah sampai Rp 500.000 satu pasang baju. Ini cuma Rp 300.000 untuk dua pasang baju, atribut, dan iuran koperasi. Di mana kerugian negara? Uang itu kesepakatan orangtua dan komite, bukan anggaran negara,” tuturnya.


Harapan kepada Presiden Prabowo

Belakangan, Nurhasan mengikuti pemberitaan dua guru di Luwu Utara yang mendapat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto setelah sebelumnya dipidana terkait pungutan komite.


Kisah itu kembali membangkitkan harapannya.

“Saya memohon kepada Bapak Presiden, semoga kasus saya disamakan dengan dua guru di Luwu Utara itu,” ujarnya.


Ada tiga permohonan yang ia tujukan kepada Presiden Prabowo Subianto. Pertama, rehabilitasi dan pemulihan nama baik, karena ia merasa tidak bersalah. Kedua, pengembalian hak pensiun, sebab ia sama sekali tak menerima hak tersebut sejak di-PTDH. Ketiga, pemulihan statusnya sebagai guru.


“Itu saja yang saya mohonkan. Semoga Bapak Presiden panjang umur dan sehat,” katanya.


Selama puluhan tahun menjadi pendidik, Nurhasan dipercaya memegang sejumlah amanah seperti Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Ketua PGRI Kabupaten Luwu beberapa periode.

“Saya kira semua amanah itu saya jalankan dengan kerja sama teman-teman. Tidak ada yang saya curangi,” ujarnya.


Di teras rumahnya, Nurhasan kini menjalani hari-hari dengan bertani sambil merawat secercah harapan. Ia tak meminta jabatan kembali. Ia hanya ingin satu hal: keadilan.


“Ini hanya persoalan harga baju. Bukan kerugian negara. Saya hanya ingin nama baik saya dipulihkan,” katanya lirih.

Previous Post Next Post