LUWU UTARA - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Republik Indonesia untuk dua guru yang diberhentikan tidak hormat setelah divonis bersalah dalam kasus pungutan dana komite sekolah.
Kedua guru tersebut adalah Drs. Rasnal, M.Pd, yang bertugas di UPT SMAN 3 Luwu Utara, dan Drs. Abdul Muis, dari UPT SMAN 1 Luwu Utara. Keduanya telah menjalani hukuman dan dinyatakan bersalah melalui putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
- Drs. Rasnal, M.Pd, NIP 196801252003121003, dari UPT SMAN 3 Luwu Utara, berdasarkan Putusan MA Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 tanggal 23 Oktober 2023.
- Drs. Abd. Muis, NIP 196607041998021003, dari UPT SMAN 1 Luwu Utara, berdasarkan Putusan MA Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tanggal 26 September 2023.
Keduanya telah menjalani masa tahanan dan diberhentikan dengan tidak hormat melalui keputusan Gubernur Sulawesi Selatan, masing-masing:
- Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 800.1.6.2/3973/BKD untuk Drs. Rasnal, M.Pd.
- Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 800.1.6.4/4771/BKD untuk Drs. Abd. Muis.
Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyatakan pihaknya telah menyampaikan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo pada 4 November 2025. Surat itu berisi permohonan agar kedua guru tersebut mendapat grasi dan kesempatan peninjauan kembali (PK) atas dasar kemanusiaan dan dedikasi panjang mereka di dunia pendidikan.
“Kami memohon kepada Bapak Presiden agar kiranya berkenan memberikan grasi kepada dua anggota kami yang telah mengabdi puluhan tahun sebagai pendidik. Kami menilai keduanya layak mendapat pertimbangan kemanusiaan dan keadilan,” kata Ismaruddin kepada Kompas.com, Jumat (7/11/2025).
Menurut Ismaruddin, kedua guru tersebut telah menjalani hukuman sesuai putusan Mahkamah Agung, namun keputusan pemberhentian tidak hormat yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menjadi pukulan berat bagi mereka dan keluarga.
“Kami memahami keputusan hukum harus dihormati, tetapi sebagai organisasi profesi, PGRI juga memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan hak dan martabat guru. Mereka bukan hanya pelaku, tapi juga korban dari sistem yang seharusnya bisa diperbaiki,” ucap Ismaruddin.
Lanjut Ismaruddin, surat bernomor 099/Permhn/PK-LU/2025-2030/2025 itu, kata Ismaruddin, juga ditembuskan ke sejumlah pihak, antara lain Ketua DPR RI, Gubernur Sulawesi Selatan, Bupati Luwu Utara, Ketua DPRD Luwu Utara, serta Pengurus Besar PGRI di Jakarta.
“Kami berharap langkah ini bisa membuka ruang dialog dan pertimbangan lebih luas. Setiap guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan seharusnya tetap mendapat penghargaan, bahkan ketika menghadapi masalah hukum,” ujarnya.
Ismaruddin menegaskan, permohonan grasi dan PK tersebut bukan untuk menolak keputusan pengadilan, melainkan untuk mencari keadilan yang lebih berimbang dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan pengabdian.
“Kami tidak menutup mata terhadap hukum. Namun kami percaya, keadilan sejati bukan hanya soal hukuman, tapi juga tentang bagaimana negara memberi kesempatan kepada warganya untuk memperbaiki diri,” tuturnya.
Menurut Ismaruddin, PGRI Luwu Utara juga mendorong upaya peninjauan kembali (PK) terhadap perkara tersebut dengan harapan adanya novum atau bukti baru yang bisa meringankan.
“Kami mendukung langkah hukum yang ditempuh dengan mekanisme yang sah. Mudah-mudahan ada bukti atau fakta baru yang dapat dipertimbangkan oleh pengadilan nantinya,” harapnya.
Ismaruddin menyerukan agar seluruh anggota PGRI tetap menjunjung tinggi etika profesi, disiplin, dan integritas dalam menjalankan tugas, sembari berharap Presiden dapat mempertimbangkan permohonan grasi tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap dunia pendidikan.
“Kami percaya Bapak Presiden memahami beratnya beban moral seorang guru. Kami berharap keputusan terbaik bisa diberikan demi keadilan, kemanusiaan, dan penghargaan terhadap jasa para pendidik,” imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan Para guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, berunjuk rasa di halaman kantor DPRD Luwu Utara, Selasa (4/11/2025).
Aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Drs. Rasnal dan Drs. Abdul Muis, yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai ASN setelah putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dugaan pungutan dana komite sekolah.
Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyatakan mereka menuntut keadilan dan perlindungan hukum bagi guru yang dinilai rentan dikriminalisasi atas dasar kebijakan internal sekolah.
“Kasus ini menjadi alarm bagi seluruh tenaga pendidik di Indonesia. Kami meminta pemerintah, baik pusat maupun daerah, segera menyusun regulasi yang memberikan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas administratif dan kebijakan sekolah,” kata Ismaruddin saat dikonfirmasi, Selasa.
“Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi. Kami berharap ada kebijakan nasional yang memastikan guru bekerja tanpa rasa takut,” tambahnya.
Menurut Ismaruddin, PGRI akan membawa persoalan ini hingga tingkat provinsi dan pusat agar mendapat perhatian serius dari Kemendikbudristek.
“Kami akan mengawal kasus ini hingga ke Kemendikbudristek. Kami ingin memastikan suara guru dari daerah juga didengar di Jakarta,” ucapnya.
