LUWU -
Kejaksaan Negeri (Kejari) Belopa,
Kabupaten Luwu,
Sulawesi Selatan, melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
(Datun) mengajukan gugatan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang ayah
berinisial SP yang terbukti melakukan kekerasan berat terhadap anak kandungnya.
Gugatan ini disidangkan di Pengadilan Agama Belopa pada Rabu (19/11/2025) kemarin dan menjadi salah satu langkah hukum
penting yang menandai komitmen kejaksaan dalam perlindungan anak.
Humas Kejaksaan Negeri Luwu, Andi Ardiaman melalui siaran pers yang diterima, Kamis (20/11/2025)
siang menyatakan Empat orang anak menjadi korban langsung
dalam kasus ini, masing-masing berinisial DM, MI, NS, dan KS.
“Salah
satu anak yakni DM,
mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri. Tindak pidana
tersebut sebelumnya telah terbukti di pengadilan, berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Belopa Nomor 7/Pid.Sus/2025/PN Blp tanggal 22 April 2025,
yang telah berkekuatan hukum tetap,” kata
Andi Ardiaman, Kamis (20/11/2025).
Langkah Hukum yang Jarang Dilakukan, Pertama Kali oleh
Datun Kejari Luwu
Lanjut Ardiaman, dalam
kasus ini Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejari Luwu,
Muh. Hendra bersama Kepala Sub Seksi Pertimbangan Hukum, Litami Aprilia hadir
sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN). Mereka menjadi pihak yang mengajukan
gugatan dengan nomor perkara 547/Pdt.G/2025/PA.Belopa.
“Gugatan
pencabutan kekuasaan orang tua ini merupakan tindakan yang jarang dilakukan dan
untuk pertama kalinya diajukan oleh Bidang Datun Kejari Luwu,” ucap Ardiaman.
“Gugatan
ini bukan sekadar tindakan administratif. Ini adalah bentuk kehadiran negara
untuk memastikan anak-anak yang menjadi korban memperoleh perlindungan hukum
maksimal. Ketika orang tua terbukti menyakiti anaknya, negara memiliki tanggung
jawab moral dan hukum untuk bertindak,” tambahnya.
Menurut
Ardiaman, gugatan
JPN didasarkan pada perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan kekuasaan
orang tua. Dalam hal ini, SP sebagai ayah kandung terbukti melakukan tindak
pidana yang melanggar asas pengasuhan dan perlindungan terhadap anak.
“Pasal
319a Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai pencabutan
kekuasaan orang tua, dan Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait
kewajiban orang tua dalam menjamin keselamatan anak,” ujarnya.
Lanjut Ardiaman, tim
JPN menilai SP telah berkelakuan sangat buruk sebagai orang tua, sehingga
pencabutan hak asuh dan perwalian menjadi langkah mutlak.
“Kekerasan yang dilakukan tergugat adalah bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar hukum dan martabat kemanusiaan. Karena
itu, JPN meminta agar seluruh kewenangan orang tua dari SP dicabut secara
penuh,” tuturnya.
Ibu Para Anak Diminta Ditunjuk sebagai Orang Tua Tunggal
Dalam gugatannya, JPN mengajukan permintaan agar ibu dari
para anak, berinisial JM, ditetapkan sebagai pemegang kekuasaan orang tua
secara penuh. JM selama ini dinilai lebih mampu menjamin keamanan dan pengasuhan
yang layak bagi keempat anak.
“Meski
begitu, SP tetap dibebankan kewajiban hukum untuk memberikan nafkah atau biaya
pemeliharaan kepada anak-anaknya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.
Sidang Verstek dan Amar Putusan Pengadilan Agama Belopa
Dalam persidangan, SP sebagai tergugat tidak hadir meski
telah dipanggil secara sah dan patut. Majelis hakim Pengadilan Agama Belopa
kemudian memutus perkara tersebut secara verstek.
“Putusan
yang dibacakan majelis hakim antara lain: tergugat
dinyatakan tidak hadir meski telah dipanggil secara resmi; mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian; Menyatakan SP dicabut dari seluruh kekuasaan
sebagai orang tua atas anak DM, MI, NS, dan KS; Menetapkan
JM sebagai pemegang kekuasaan orang tua seutuhnya; Membebankan biaya perkara sebesar Rp279.000
kepada penggugat; Menolak
sebagian gugatan penggugat yang lainnya. Putusan
ini sekaligus memastikan bahwa keempat anak tersebut secara hukum berada di
bawah pengasuhan tunggal ibunya,”
jelas Ardiaman.
Masih Ada Waktu Ajukan Perlawanan (Verzet)
Andi Ardiaman menegaskan bahwa putusan verstek belum
bersifat final. Para pihak masih diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya
hukum.
“Terkait putusan ini, tergugat memiliki waktu 14 hari
sejak menerima pemberitahuan putusan untuk mengajukan verzet atau perlawanan.
Jika dalam jangka waktu tersebut tidak diajukan, maka putusan ini berkekuatan
hukum tetap sesuai Ketentuan
tersebut mengacu pada SK KMA Nomor 363/KMA/SK/XII/2022,” ,” terang Ardiaman.
Komitmen Kejari Luwu pada Perlindungan Anak
Andi menambahkan bahwa langkah hukum yang ditempuh oleh
Kejari Luwu bukan hanya sebagai respons atas perkara pidananya, tetapi juga
bagian dari upaya pemulihan yang lebih komprehensif bagi para korban anak.
“Melindungi anak tidak berhenti pada pemidanaan pelaku.
Dalam kasus seperti ini, memastikan bahwa anak-anak benar-benar terbebas dari
kontrol pelaku sama pentingnya dengan proses hukumnya. Itu sebabnya pencabutan
kekuasaan orang tua menjadi sangat krusial,” paparnya.
Kejaksaan Negeri Luwu berharap gugatan ini menjadi
preseden dan mendorong penegakan hukum yang lebih proaktif dalam menangani
kasus kekerasan terhadap anak, termasuk memastikan bahwa korban tidak kembali
berada di lingkungan yang membahayakan keselamatan mereka.
