LUWU - Matahari menggantung tepat di atas kepala, membakar aspal di depan Portal Besi PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS). Asap hitam dari ban yang terbakar menari di udara, membawa bau getir karet gosong dan kemarahan rakyat yang tak kunjung padam. Di tengah kerumunan itu, berdirilah Umi, Kepala Desa Padangkalua, tubuh mungilnya diselimuti debu, langkahnya mantap, wajahnya keras, tapi matanya teduh.
“Ini bukan sekadar soal pekerjaan, ini soal keadilan, soal kemanusiaan!” suaranya pecah lewat pengeras suara yang ia genggam erat. Massa bersorak, sebagian mengangkat spanduk, sebagian lainnya mengangkat tangan kirinya sebagai simbol perlawanan.
Hari itu, Senin, 27 Oktober 2025, adalah hari kedua ia turun ke jalan. Hari pertama, ia berdiri di simpang empat lampu merah Kecamatan Bua dan kini, di depan gerbang perusahaan raksasa milik Kalla Group, ia kembali berdiri. Sendirian. Satu-satunya kepala desa dari empat belas desa dan satu kelurahan di Kecamatan Bua yang berani berdiri di antara asap, panas, dan amarah.
Umi masih mengenakan seragam dinas kepala desa, kemeja krem dengan lambang Garuda kecil di dada kiri, celana panjang, sepatu yang telah berdebu. Ia tak sempat berganti pakaian, tak sempat pulang setelah rapat pagi di kantor desa.
Karena begitu mendengar kabar warga dan mahasiswa kembali turun ke jalan, ia tahu, ia tak bisa diam di balik meja.
“Kalau bukan kita yang bicara, siapa lagi?” katanya pelan sebelum long march menuju gerbang PT BMS.
Di tangannya, pengeras suara itu bukan hanya alat, tapi senjata. Suara lantangnya memecah kebisuan para pemimpin desa lain yang entah di mana, mungkin duduk nyaman di ruang ber-AC, mungkin berpura-pura tak tahu apa yang sedang terjadi.
Umi tahu ia sendirian, tapi hatinya dipenuhi sesuatu yang lebih besar dari rasa takut, cinta pada rakyatnya.
“Warga kami… mereka sudah sering melamar kerja,” katanya terbata.
“Berkali-kali masukkan lamaran ke perusahaan, membawa berkas, membawa harapan… tapi tak pernah diterima. Mereka hanya ingin hidup layak, di tanah mereka sendiri.”
Suara Umi bergetar. Dari pengeras suara terdengar desis kecil, seperti ikut menahan tangis. Ia berhenti sejenak. Nafasnya berat.
Di belakangnya, spanduk bertuliskan ‘Tenaga Lokal Bukan Penonton’ berkibar diterpa angin.
Tanpa ia sadari, air matanya mulai jatuh.
Menetes pelan, membentuk garis di pipi yang kotor oleh debu. Ia mengusapnya cepat, tapi air mata itu tak berhenti.
Kata-kata tak bisa lagi keluar dengan lantang, suaranya pecah di tengah kalimat.
“…Anak-anak muda datang padaku malam-malam,” ucapnya pelan.
“Katanya, Bu… kalau di sini tak bisa kerja, kami mau merantau. Tapi… ke mana mereka mau pergi? Tanah ini sudah dikuasai perusahaan. Mereka tamu di negeri sendiri…”
Hening. Massa yang tadi berteriak kini terdiam. Bahkan angin pun terasa berhenti.
Seorang pemuda yang berdiri paling depan menunduk, menatap tanah.
Ia tahu, Umi sedang berbicara tentang dirinya. Tentang mereka semua, anak-anak muda Bua yang setiap hari melihat pabrik berdiri megah di tanah mereka, tapi tak pernah bisa menapakkan kaki di dalamnya.
Beberapa ibu-ibu menangis. Seorang mahasiswa mengangkat tangan, berteriak,
“Hidup Bu Kades! Hidup rakyat Bua!”
Teriakan itu disambut riuh, tapi Umi tetap diam. Ia menatap langit, berusaha menelan tangisnya sendiri.
Di sela asap dan debu, ia teringat sesuatu.
Beberapa hari lalu, ada seorang ibu datang ke rumahnya membawa surat lamaran anaknya yang sudah pernah mendaftar namun tidak lolos.
“Ibu kades, tolonglah… katanya ada lowongan lagi, mungkin kalau Ibu yang bicara mereka dengar,” kata si ibu dengan mata basah.
Umi menatap surat itu lama sekali.
Bukan karena tak ingin membantu, tapi karena ia tahu… bahkan suaranya pun sering tak didengar.
Dan kini, di depan portal besi yang dijaga ketat aparat, ia bicara untuk semua warganya yang susah untuk masuk bekerja, semua harapan yang ditinggalkan, semua anak muda yang kehilangan arah.
Kacamata hitamnya masih terpasang karena teriknya matahari namun Make up-nya sudah luntur. Tapi di wajah itu, yang tersisa hanya kejujuran dan luka.
Ia menatap portal besi itu, lalu berkata lirih nyaris seperti berdoa, “Kalau keadilan tak bisa datang dari atas, biarlah kami mencarinya dari bawah…”
Suara itu tenggelam di antara sorak massa, tapi kata-kata itu melekat di hati mereka yang mendengar.
Sore mulai datang, dan bayangan pabrik menjulur panjang ke jalan berdebu tempat Umi berdiri. Ia perlahan mundur dari hadapan aparat. Tangannya gemetar, tapi matanya menatap lurus. Beberapa pemuda mendekat, mencoba menenangkannya. Tapi Umi hanya tersenyum kecil.
“Tak apa aku menangis,” katanya pelan. “Yang penting rakyat tahu, mereka tidak sendirian.”
Ia melangkah pelan menjauh dari kerumunan, meninggalkan jejak kaki kecil di tanah berdebu. Jejak yang mungkin akan hilang oleh angin, tapi tidak dari ingatan rakyatnya.
Di bawah langit Bua yang perlahan mulai gelap, ada seorang perempuan yang menangis bukan karena kalah,
melainkan karena terlalu cinta pada rakyatnya.
Namanya Umi, Kepala Desa Padangkalua.
Perempuan yang berani meneteskan air mata demi keadilan. Perempuan yang mungkin sendirian, tapi tulusnya cukup untuk seluruh warganya.
