End Google Tag Manager (noscript) --> Damkar Luwu Ungkap Fenomena Meningkatnya Kemunculan Ular Cobra dan King Cobra di Sulawesi

Damkar Luwu Ungkap Fenomena Meningkatnya Kemunculan Ular Cobra dan King Cobra di Sulawesi

 



LUWU – Dalam beberapa bulan terakhir, warga di sejumlah wilayah Sulawesi Selatan dibuat resah oleh kemunculan ular berbisa, baik jenis Cobra maupun King Cobra.

 

Petugas Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Luwu mengungkap bahwa meningkatnya frekuensi penemuan kedua jenis ular mematikan ini berkaitan erat dengan perubahan lingkungan dan gangguan habitat.

 

Kepala Bidang Peralatan dan SDM Damkar Luwu, Ale, mengatakan masyarakat sering kali salah membedakan antara ular Cobra dan King Cobra. Padahal, keduanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda.

 

“Terkadang masyarakat awam menyamakan kedua jenis ular ini. Padahal King Cobra dan Cobra berbeda jauh, baik dari bentuk fisik maupun wilayah persebarannya,” kata Ale saat ditemui di Luwu, Jumat (10/10/2025).

 

Beda King Cobra dan Cobra Biasa

Menurut Ale, King Cobra (Ophiophagus hannah) adalah ular berbisa terpanjang di dunia dengan panjang tubuh yang bisa mencapai lima meter.

Sedangkan ular Cobra biasa hanya tumbuh sekitar 1 meter hingga 1,5 meter.

 

“Ciri paling mudah dikenali dari tudungnya. Tudung Cobra biasa lebih lebar, sedangkan King Cobra lebih kecil dan memanjang,” ucapnya.

 

King Cobra juga dikenal lebih tenang, tetapi sangat berbahaya saat merasa terancam. Sementara Cobra biasa cenderung lebih agresif jika diganggu.

 

“Yang perlu dipahami, King Cobra adalah pemakan ular lain. Jadi di alam, dia justru berperan penting sebagai pengendali populasi ular lain,” ujar Ale.

 

 

King Cobra Ternyata Hidup di Sulawesi

Selama ini masyarakat beranggapan bahwa Sulawesi bukan habitat King Cobra. Namun, hasil observasi lapangan dan laporan warga menunjukkan fakta sebaliknya.

 

“Sulawesi termasuk habitat King Cobra, selain Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali,” tuturnya.

 

King Cobra di Sulawesi memang cenderung berukuran lebih kecil dibandingkan di pulau lain. Hal ini sempat membuat banyak orang ragu terhadap keberadaannya.

Namun sejak 2024 hingga 2025, sejumlah kejadian kemunculan King Cobra di Pangkep, Sidrap, hingga Palopo menepis keraguan tersebut.

 

“Beberapa kali kami menerima laporan kemunculan King Cobra. Bahkan di Pangkep pernah ada korban meninggal akibat gigitan ular ini,” ungkap Ale.

 

Damkar Luwu sendiri sudah empat kali mengevakuasi King Cobra dari lingkungan pemukiman warga di Palopo dan sekitarnya.

 

Fenomena Meningkatnya Kemunculan Cobra di Pemukiman

Selain King Cobra, kemunculan ular Cobra biasa juga meningkat di beberapa wilayah Luwu dan Palopo sejak awal 2025. Ular-ular ini sering ditemukan di saluran air, halaman rumah, bahkan di dapur warga.

 

“Kalau Cobra biasa itu lebih sering muncul, terutama saat musim hujan atau ketika habitat mereka terganggu. Biasanya mereka mencari tempat yang hangat dan sumber makanan seperti tikus,” imbuh Ale.

 

Menurutnya, perubahan cuaca ekstrem dan pembangunan permukiman menjadi penyebab utama meningkatnya interaksi antara manusia dan ular.

 

“Bisa jadi dulunya itu lahan kosong atau semak belukar, sekarang sudah jadi rumah. Ular kehilangan tempat tinggal, akhirnya masuk ke area penduduk,” jelasnya.

 

Damkar Luwu mengimbau warga agar tidak panik saat menemukan ular di rumah.

 

“Jangan coba menangkap sendiri. Segera hubungi petugas Damkar, kami punya tim khusus untuk evakuasi satwa liar,” tambahnya.

 

 

Musim Kemunculan Ular Cobra di Sulawesi

Di Sulawesi, kemunculan ular kobra  terutama kobra Jawa atau kobra Sulawesi (Naja sputatrix) umumnya meningkat pada musim hujan, yaitu sekitar bulan November hingga Maret.

 

Menurut Ale, faktor ekologis menjadi alasan utama meningkatnya aktivitas ular pada periode tersebut.

 

“Musim hujan membuat banyak katak, tikus, dan hewan kecil keluar dari sarang. Itu makanan utama ular kobra, jadi mereka lebih aktif berburu,” jelasnya lagi.

 

Selain itu, genangan air hujan yang masuk ke dalam lubang atau sarang ular memaksa mereka keluar menuju area terbuka atau bahkan permukiman warga.

 

Pada waktu yang sama, sebagian populasi ular juga memasuki musim kawin, sehingga lebih sering terlihat berpindah tempat.

 

Namun, di wilayah Sulawesi bagian tengah dan selatan  terutama daerah dengan suhu hangat dan kelembapan tinggi ular kobra bisa muncul kapan saja sepanjang tahun, meski puncaknya tetap terjadi pada musim hujan,” terangnya.

 

Edukasi Publik Lewat Adopsi King Cobra

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, Damkar Luwu kini mengadopsi beberapa ekor King Cobra hasil evakuasi.

 

Langkah ini dilakukan sebagai sarana edukasi agar warga lebih mengenal satwa berbisa tersebut dan tahu cara bersikap ketika bertemu ular.

 

“Kami ingin masyarakat tahu bentuk fisiknya, supaya bisa membedakan mana King Cobra dan mana Cobra biasa. Dan yang lebih penting, mereka tahu bahwa tidak semua ular harus dibunuh,” ujar Ale.

 

Ular yang masih sehat biasanya akan dilepasliarkan kembali setelah diamati beberapa waktu.

 

“Kalau kondisinya stabil dan lokasi pelepasannya aman, kami lepas ke habitat aslinya,” katanya.

 

 

Pengalaman Nyata: Petugas Damkar Pernah Digigit King Cobra

 

Ale mengaku pernah tergigit King Cobra sekitar empat bulan lalu saat proses evakuasi.

 

“Untungnya gigitan kering, hanya satu taring yang masuk. Tapi pengalaman itu jadi pelajaran besar buat saya dan tim,” ujarnya.

 

Ia menambahkan, hingga kini Indonesia belum memiliki serum antibisa khusus untuk King Cobra, yang membuat penanganan kasus gigitan menjadi lebih sulit.

 

“Yang paling penting itu penanganan awal. Dalam 12 menit pertama harus dilakukan pembalutan untuk memperlambat penyebaran bisa. Langkah seperti mengikat, membakar, atau mengisap luka sudah tidak disarankan,” tegas Ale.

 

 

Gangguan Habitat dan Urbanisasi Ular

Kemunculan berulang King Cobra dan Cobra di lingkungan warga menjadi peringatan bahwa ekosistem sedang tertekan.

 

“Kalau dulu habitatnya masih hutan atau semak, sekarang sudah jadi kebun dan rumah. Jadi ular terpaksa menyesuaikan diri,” ujar Ale.

 

Fenomena ini disebut urbanisasi satwa liar, di mana hewan-hewan seperti ular, biawak, hingga monyet mulai berpindah ke wilayah manusia karena kehilangan habitat.

 

“Ular tidak akan menyerang kalau tidak merasa terganggu. Jadi masyarakat harus tetap tenang dan bijak menghadapi situasi seperti ini,” katanya.

 

 

Ular, Penjaga Keseimbangan Alam

Meski menakutkan, keberadaan ular sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam. Mereka berperan sebagai predator alami bagi tikus dan hewan pengerat lainnya yang bisa menjadi hama bagi pertanian dan sumber penyakit.

 

“Kalau ular-ular ini punah, jumlah tikus bisa meningkat pesat. Itu malah merugikan manusia,” kata Ale.

 

Karena itu, ia menegaskan pentingnya edukasi publik. “Ular bukan musuh manusia. Mereka hanya butuh ruang hidup yang aman,” ujarnya.

 

Pesan Damkar Luwu untuk Warga

Melalui berbagai kegiatan edukasi dan sosialisasi, Damkar Luwu berharap masyarakat mulai memahami pentingnya peran ular dalam ekosistem.

 

“Kalau ada ular di rumah, jangan panik. Tutup ruangan, jaga jarak, dan hubungi petugas Damkar. Kami siap turun 24 jam,” ujar Ale.

 

Ia menutup dengan pesan:

“Jangan bunuh ular yang tidak mengganggu. Mereka bukan ancaman, mereka hanya kehilangan tempat tinggalnya.”

Previous Post Next Post