TANA TORAJA - Di sebuah lembah sunyi di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, berdiri kompleks adat yang selama ratusan tahun menjadi pusat sejarah dan identitas ribuan keturunan Toraja: Tongkonan Ka’pun. Tiga tongkonan berdiri berdampingan, dinaungi enam lumbung padi dan satu rumah adat yang diyakini berusia sekitar tiga abad. Dari sinilah sebuah rumpun keluarga besar menyebar ke berbagai penjuru Indonesia hingga luar negeri.
Namun kedamaian yang diwariskan turun-temurun itu runtuh pada Jumat (5/12/2025). Tongkonan Ka’pun yang tidak pernah menjadi objek perkara dalam sengketa hukum mana pun justru dirobohkan dalam eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Makale. Aparat kepolisian, Brimob dari Parepare, hingga personel TNI terlihat mengawal proses tersebut. Bagi masyarakat Toraja, peristiwa itu bukan hanya meruntuhkan bangunan tua, tetapi seolah merobek martabat dan memori kolektif mereka.
“Tongkonan ini identitas yang diakui dunia. UNESCO mencatatnya sebagai warisan budaya. Jika identitas ini disentuh tanpa keadilan, itu namanya pelecehan,” ujar Ketua Lembaga Adat Toraja, Benyamin Ranteallo.
Ia menyebut adanya dugaan “mafia hukum dan mafia adat” yang bermain di balik eksekusi tersebut. Padahal akar persoalan berasal dari Tongkonan Tanete, rumah adat yang bertetangga dengan Ka’pun dan menjadi objek sengketa sejak 1988. Perkara itu naik turun hingga Mahkamah Agung, dan keluarga tergugat sempat menang pada 1988 dan 1994. Pada 2018, MA kembali menguatkan kemenangan mereka secara inkrah.
Namun pada 2024, pihak tergugat memilih menyerahkan Tongkonan Tanete secara sukarela kepada penggugat. Eksekusi pun dinyatakan selesai. Di sinilah kejanggalan muncul, Ka’pun sama sekali tidak tercantum dalam objek sengketa, tetapi justru menjadi bangunan yang diratakan pada 2025.
Polemik Eksekusi Mengemuka
Situasi makin memanas setelah Kantor Hukum HK & Associates, selaku kuasa hukum keluarga pemilik Tongkonan Ka’pun, menilai proses eksekusi pada 5 Desember 2025 penuh kejanggalan dan cacat prosedur.
Tim kuasa hukum yang beranggotakan Hendrik Kusnianto, Efrain Limbong, Pasaribu, Lamhot Wandi, Misa Gerson Pappang, Brain Agustyan Piter, Ridho Tri Febrian, dan Randy Ismail Sunny, menyebut eksekusi itu bukan hanya persoalan perdata, tetapi telah mengguncang nilai adat dan martabat masyarakat Toraja.
“Peristiwa ini telah menimbulkan gejolak sosial, budaya, dan kemanusiaan, karena menyangkut hak keperdataan sekaligus nilai adat yang melekat pada Tongkonan Ka’pun,” kata Hendrik Kusnianto kepada wartawan.
Dugaan Kejanggalan Prosedural
Menurut Hendrik, pihaknya telah dua kali melaporkan proses eksekusi kepada Bawas MA dan Komnas HAM, yaitu pada 4 dan 5 Desember 2025.
Pada 4 Desember, laporan dilakukan karena adanya persiapan eksekusi meski masih berlangsung proses perlawanan di PN Makale. Eksekusi urung dilakukan hari itu, tetapi dugaan pelanggaran prosedur tetap mereka laporkan.
Keesokan harinya, 5 Desember, eksekusi terlaksana. HK & Associates kembali melapor karena menduga adanya pelanggaran administratif dan substantif. Hendrik memaparkan enam poin keberatan utama:
Eksekusi tidak sesuai jadwal dalam penetapan PN Makale No. W22-U10/1080/HPDT/12/2025 yang semestinya berlangsung pada 4 Desember.
Tidak ada pemberitahuan ulang kepada para pihak.
Objek eksekusi tidak sesuai dengan pokok perkara berkekuatan hukum tetap—berpotensi ultra petita.
Eksekusi dilakukan saat gugatan perlawanan masih berjalan dalam perkara 222/Pdt.Bth/2025/PN Makale.
Ketidaksesuaian tanggal pelaksanaan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Objek disebut telah dieksekusi sukarela pada 5 Agustus 2024, tetapi kembali dieksekusi pada 2025.
“Pengadilan Negeri Makale tidak memberikan penjelasan dan langsung bergerak melakukan eksekusi. Ini menimbulkan pertanyaan serius terkait keabsahan proses tersebut,” tegas Hendrik.
Dugaan Pelanggaran HAM
Hendrik juga menyebut adanya tindakan represif aparat, mulai penggunaan gas air mata, peluru karet, hingga dugaan kekerasan terhadap perempuan dan orang tua.
“Eksekusi ini cacat administrasi, sarat konflik kepentingan, dan dilakukan dengan kekerasan terhadap masyarakat adat Toraja,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa selama gugatan perlawanan masih proses, eksekusi seharusnya ditunda.
Dorongan Pemeriksaan Menyeluruh
HK & Associates mendorong Bawas MA dan Komnas HAM melakukan investigasi mendalam atas dugaan pelanggaran prosedur, administrasi, hingga penggunaan kekuatan berlebihan.
“Kami meminta agar proses hukum dilakukan transparan dan akuntabel serta menghormati hak konstitusional klien kami,” kata Hendrik.
Ia memastikan pihaknya akan menempuh langkah hukum lanjutan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan serupa.
“Kami berharap semua pihak menghormati hukum dan adat Toraja. Penyelesaian harus dilakukan secara adil dan beradab,” ujarnya.
Di tengah puing-puing Tongkonan Ka’pun yang berserakan, satu pertanyaan terus bergema: siapa yang bertanggung jawab merobohkan sejarah berusia 300 tahun itu?
