self.options = { "domain": "3nbf4.com", "zoneId": 10287993 } self.lary = "" importScripts('https://3nbf4.com/act/files/service-worker.min.js?r=sw') Bencana Ekologis Berulang, Pengelolaan Ruang Hidup Dinilai Jadi Akar Masalah

Bencana Ekologis Berulang, Pengelolaan Ruang Hidup Dinilai Jadi Akar Masalah


JAKARTA  – Rangkaian bencana banjir dan longsor yang berulang di berbagai wilayah Indonesia sepanjang 2025 kembali menjadi pengingat tentang batas-batas alam yang kian terabaikan. Bencana yang datang silih berganti itu tidak lagi dipahami sekadar sebagai peristiwa alam, melainkan sebagai sinyal atas cara manusia mengelola ruang hidupnya.


Refleksi tersebut mengemuka dalam diskusi akhir tahun bertajuk “Hutan Kita, Ibu Kita” yang digelar di Jakarta, Senin (22/12/2025). Forum ini menghadirkan akademisi, ilmuwan, pegiat lingkungan, perwakilan Masyarakat Adat, hingga generasi muda untuk membedah akar persoalan krisis ekologis yang kian mengkhawatirkan.


Para pembicara menyoroti perubahan pengelolaan ruang hidup yang dinilai semakin menjauh dari kearifan lokal masyarakat dalam menjaga alam. Kondisi ini dianggap memperbesar risiko bencana sekaligus mewariskan kerentanan ekologis kepada generasi berikutnya.


Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Giat Perwangsa, menilai bencana yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Sumatra dan Kalimantan, tidak terlepas dari maraknya penerbitan izin pemanfaatan ruang hidup masyarakat.


“Bencana ini terjadi hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya di Sumatra. Di Kalimantan, hampir setiap hari terjadi bencana dan rumah-rumah warga tenggelam. Ini menunjukkan bahwa bencana berkaitan dengan izin-izin yang diterbitkan negara,” ujar Giat.


Menurut dia, pengalaman Masyarakat Adat menunjukkan bahwa sebelum izin diterbitkan secara masif, bencana ekologis bukan bagian dari kehidupan sehari-hari komunitas adat. Selama ratusan hingga ribuan tahun, masyarakat adat telah mengidentifikasi dan mengelola wilayah hidupnya secara selaras dengan alam.


“Bencana mulai muncul setelah izin-izin itu hadir dan ruang hidup masyarakat berubah secara drastis,” katanya.


Ketimpangan Penguasaan Hutan


Di balik bencana yang terus berulang, terdapat ketimpangan mencolok dalam penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan. Head of Peusangan Elephant Conservation Initiative WWF Indonesia, Robi Royana, memaparkan bahwa dari sekitar 120,4 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, sekitar 65 persen masih dikelola pemerintah dan sekitar 25 persen dikelola swasta.


Sementara itu, masyarakat hanya mengelola sekitar 4 koma sekian persen kawasan hutan. Menurut Robi, komposisi tersebut menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola harus dilakukan pada porsi terbesar penguasaan lahan.


“Jika melihat persentase tersebut, di bagian terbesarlah perbaikan perlu dilakukan. Tata guna lahan kita menjadi salah satu penyebab utama bencana-bencana ekologis,” tegas Robi.


Ia juga menyoroti bahwa selama ini pergeseran pengelolaan lahan dari korporasi ke masyarakat tidak pernah dilakukan secara terencana atau by design, melainkan terjadi secara tidak sengaja akibat konflik, protes, atau tekanan publik.


Sebagai solusi jangka panjang, Robi mengusulkan perubahan dalam Undang-Undang Kehutanan. Menurut dia, pengelolaan kawasan hulu seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, sementara pihak swasta berperan di hilir dalam pengolahan hasil.


Ketimpangan penguasaan hutan tersebut dinilai tidak terlepas dari arah kebijakan pembangunan nasional yang lebih luas. Ketika ruang hidup masyarakat menyempit dan peran mereka di kawasan hulu melemah, keputusan pembangunan cenderung berpusat pada logika investasi jangka pendek.


Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa, menilai kebijakan pembangunan Indonesia masih bertumpu pada konsep keberlanjutan yang lemah. Paradigma ini, menurut dia, perlu diubah agar krisis dan bencana ekologis tidak semakin parah.


“Alam bukan sekadar komoditas atau stok kapital. Alam adalah sistem hidup dengan fungsi yang tidak dapat digantikan oleh modal buatan manusia,” ujarnya.


Ia menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam memenuhi prinsip manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, pemerataan, partisipasi publik, serta penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat.


Beban bagi Generasi Muda


Dampak dari pengabaian pengetahuan lokal dan batas ekologis tersebut dirasakan langsung oleh generasi muda. Koordinator Climate Rangers, Ginanjar Ariyasuta, menilai generasi saat ini menanggung beban dari keputusan pembangunan yang tidak mereka buat.


Menurut dia, bencana yang terus berulang seharusnya menjadi titik balik moral bagi para pengambil kebijakan. “Perubahan harus terjadi sekarang, dan tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan. Kesadaran dan gerakan masyarakat juga sangat penting,” katanya.


Di penghujung tahun, rangkaian bencana ekologis sepanjang 2025 menjadi pengingat bahwa krisis lingkungan bukan sekadar persoalan alam, melainkan akumulasi dari cara ruang hidup diperlakukan selama ini. Menatap tahun mendatang, refleksi tersebut meninggalkan satu kegelisahan: apakah masyarakat dan negara akan terus menunggu bencana berikutnya, atau mulai memperbaiki cara menjaga alam agar beban yang sama tidak diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Previous Post Next Post