JAKARTA - Sore itu, sehari sebelum Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 30 dimulai, sebuah kapal kayu bertingkat bernama Yaku Mama Amazon Flotilla perlahan merapat di Pelabuhan Belem, Brazil. Dari kejauhan, kapal yang melintasi sungai terbesar di dunia itu tampak gagah membawa lebih dari 50 pemimpin muda adat dari berbagai negara Amerika Latin. Mereka datang untuk satu tujuan: menyuarakan perjuangan masyarakat adat yang selama ini berada di garis depan krisis iklim.
Di antara para pemuda adat itu, tampak Hero Aprila, Pemuda Adat asal Bengkulu. Ia hadir mewakili Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta Global Alliance of Territorial Communities (GATC). Hero ikut dalam perjalanan panjang menelusuri sungai Amazon dari Santarem menuju Belem—sebagai tanda solidaritas kepada komunitas adat Amerika Latin yang menghadapi persoalan serupa dengan masyarakat adat di Indonesia.
“Kami dari Indonesia terlibat penuh sebagai peserta, sekaligus menunjukkan bentuk solidaritas bagi teman-teman di Amerika Latin. Persoalan yang mereka hadapi persis seperti apa yang terjadi di negara kita,” kata Hero, mengenang perjalanannya melintasi Amazon yang sarat biodiversitas.
Simbol dari Sungai Ibu
Ekspedisi Yaku Mama Amazon Flotilla dimulai pada 8 Oktober 2025 dengan ritual adat di Ecuador. Pada 16 Oktober, kapal tersebut bergerak menyusuri Sungai Amazon sejauh lebih dari 3.000 kilometer, dari Sungai Napo di Kota Coca, Ecuador, melintasi Peru dan Kolombia, hingga tiba di Brazil.
Nama Yaku Mama, yang berarti “Ibu Air”, dipilih karena dalam budaya masyarakat adat Amazon, ia dipandang sebagai roh pelindung air, sumber kehidupan bagi seluruh makhluk. Di lambung kapal, terbentang banner besar bertuliskan “End Fossil Fuels – Climate Justice Now.”
Aksi teatrikal ini digagas oleh berbagai organisasi masyarakat adat dan komunitas lokal di Amazon. Tujuannya jelas: menuntut perhatian dunia agar krisis iklim ditangani dengan berpihak pada masyarakat adat yang menjaga sebagian besar hutan dan wilayah penting penyerap karbon.
Menyusun Suara untuk COP 30
Dalam perjalanan, Hero bersama para pemuda adat lain mengadakan berbagai diskusi untuk menyusun tuntutan bersama yang akan dibawa ke forum COP 30. Dari Indonesia, isu paling mendesak adalah pengakuan hukum terhadap masyarakat adat melalui Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Lebih dari satu dekade kami mendorong undang-undang tersebut. Banyak sekali perampasan wilayah adat yang berujung kriminalisasi dan intimidasi. Karena itu ini menjadi tuntutan utama kami,” ujarnya.
Selain itu, mereka juga menyoroti pentingnya pendanaan iklim langsung kepada komunitas adat, perlindungan wilayah adat, pengetahuan leluhur, hingga keamanan bagi pembela masyarakat adat.
Hero akan membawakan tuntutan tersebut sebagai pembicara di beberapa forum COP 30: mulai dari pembacaan Ikrar Masyarakat Adat di Shandia Forum, agenda pergerakan pemuda di bawah GATC, hingga side event Global Youth Roadmap dan Global Youth Climate Justice Statement.
“Suara ini berangkat dari Bali menuju COP 30,” kata Hero, merujuk pada penyusunan tuntutan bersama saat Global Youth Forum di Bali pada Agustus 2025.
Tantangan Serupa di Dua Benua
Perjalanan menuju Belem menyisakan pengalaman yang tak terlupakan. Kapal singgah di komunitas adat Novo Carão, sebuah perkampungan kecil di pedalaman Amazon. Untuk mencapai lokasi, Hero harus berganti kapal dua kali dan berjalan kaki sekitar 30 menit.
“Kurang lebih sama seperti di Indonesia. Akses sulit, penduduk sedikit, dan persoalan yang dihadapi pun serupa—perampasan wilayah, kriminalisasi, hingga larangan membakar hutan untuk berladang,” ujarnya.
Hero menceritakan kisah masyarakat adat Talang Mamak di Riau yang juga dikriminalisasi karena praktik membuka ladang dengan api, padahal dilakukan dengan pengetahuan turun-temurun dan tidak merusak lingkungan. Rupanya, pengalaman itu juga dialami komunitas Novo Carão.
Di salah satu malam, Hero mengikuti ritual bulan purnama bersama warga komunitas tersebut—sebuah pengalaman yang membuatnya semakin yakin bahwa perjuangan masyarakat adat di dua benua ini berada dalam satu arus yang sama.
“Perjuangan masyarakat adat di Amazon dan Nusantara mengalir di arus yang sama: melawan ketidakadilan, menjaga tanah, dan menuntut dunia untuk mendengar mereka yang paling dekat dengan bumi,” kata Hero.
BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA (BPAN)
Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) adalah organisasi otonom sayap AMAN yang menjadi wadah kaderisasi dan perjuangan solidaritas pemuda adat di seluruh Nusantara. Anggotanya adalah pemuda adat berusia 15–30 tahun dari komunitas adat di tujuh region Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Papua.
BPAN dibentuk dalam Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara pada 27–31 Januari 2012 dan dideklarasikan pada 29 Januari 2012 di Curug Nangka, Bogor. Dengan visi “Generasi muda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat”, BPAN hadir untuk memperkuat suara generasi muda adat dalam menjaga tanah dan identitasnya.
Instagram: @pemuda_adat
Website: pemudaadat.org
.jpg)