End Google Tag Manager (noscript) --> Suara dari Hutan Mato Grosso: Anak Muda Dunia Siapkan Strategi Jelang COP 30 di Brazil

Suara dari Hutan Mato Grosso: Anak Muda Dunia Siapkan Strategi Jelang COP 30 di Brazil


JAKARTA – Sekitar 80 anak muda dari berbagai negara tidur di hammock, berdiskusi di tepi sungai, dan berkonsolidasi di tengah hutan Mato Grosso, Brazil. Dari tempat sederhana tanpa dinding itu, mereka merancang strategi menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) yang akan digelar November mendatang di Belem, Brazil.


Pertemuan bertajuk “Co-Creation Meeting for the Campaign Alliance of Peoples for the Climate” ini mempertemukan generasi muda dari berbagai penjuru dunia yang memiliki satu tujuan: memperjuangkan keadilan iklim dan memastikan suara masyarakat adat didengar di panggung global.


Selama beberapa hari, para peserta bertukar gagasan, membangun solidaritas, dan menyiapkan aksi kreatif yang diharapkan mampu menarik perhatian dunia. Salah satu di antara mereka adalah Stanislaus Demokrasi Sandyawan, atau akrab disapa Momo, Wakil Direktur Climate Rangers Jakarta.


“Rasanya magis sekali, berdiskusi tentang alam di alam bebas—di alam yang sedang kita perjuangkan kelestariannya,” ujar Momo kepada Kompas.com, Kamis (9/10/2025).


Dua Delegasi Asia di Tengah Aktivis Amerika Latin

Momo merupakan satu dari hanya dua peserta asal Asia yang diundang ke forum tersebut. “Ada, sih, dari luar Brazil, tetapi mereka pun dari negara-negara Amerika Latin, seperti Meksiko, Panama, dan Ekuador. Dari Asia hanya aku dan seorang delegasi dari Lebanon,” tuturnya.


Meski datang dari jauh, Momo mengaku disambut dengan sangat hangat. Ia kagum dengan kekuatan jejaring aktivis muda di Amerika Latin yang dinilainya sudah sangat matang.


“Kita bisa belajar banyak dari mereka. Gerakan mereka dipimpin anak muda berusia 30-an, tapi sudah berani mengambil langkah besar untuk memperjuangkan isu mereka,” kata Momo.


Kesamaan Nasib Masyarakat Adat

Dari diskusi yang panjang, Momo menemukan banyak kesamaan antara perjuangan masyarakat adat di Indonesia dan di Amerika Latin. “Saat ini mereka juga melawan pemerintah dan perusahaan dalam mempertahankan wilayah adat. Serupa dengan masyarakat adat di Indonesia,” ujarnya.


Perbedaannya, di Indonesia konflik lahan sering berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit, sementara di Brazil lebih banyak dipicu oleh ekspansi perkebunan kedelai. Menariknya, Brazil bahkan sudah memiliki Kementerian Masyarakat Adat, yang membuat pengakuan negara terhadap hak-hak adat jauh lebih kuat dibanding Indonesia.


Kesamaan nasib inilah yang menumbuhkan solidaritas lintas benua. Bagi para peserta, perjuangan masyarakat adat bukan sekadar isu lokal, melainkan isu global yang harus diperjuangkan bersama.


Pendanaan Iklim Jadi Isu Utama

Dari berbagai topik yang dibahas, peserta akhirnya sepakat bahwa pendanaan iklim akan menjadi fokus utama yang akan didorong di COP 30 mendatang.


“Aku kaget juga, ternyata banyak teman-teman yang tertarik pada isu pendanaan iklim, tapi belum benar-benar paham bagaimana mekanismenya. Padahal ini isu yang sangat kompleks,” ujar Momo.


Pendanaan iklim sangat berkaitan dengan masyarakat adat. Dana yang seharusnya mengalir ke komunitas di garis depan sering kali berhenti di tingkat birokrasi atau lembaga besar. Dari situ muncul dua istilah penting yang banyak dibahas: territorial autonomy dan historical reparation.


“Territorial autonomy itu tentang hak masyarakat adat untuk mengatur wilayahnya sendiri. Sedangkan historical reparation bicara tentang kompensasi atas ketidakadilan sejarah yang mereka alami. Dua hal ini penting sekali untuk dibahas,” jelas Momo.


Berjumpa Pemimpin Legendaris Amazon

Pertemuan di Desa Mupa, Mato Grosso, tidak hanya berakhir dengan diskusi. Anak-anak muda itu juga menyiapkan berbagai aksi kreatif yang akan digelar saat COP 30 berlangsung.


“Di COP 30 nanti, kami ingin merebut perhatian media dengan aksi yang ramai dan menarik misalnya fashion show yang menampilkan baju adat dari masing-masing daerah. Kalau visual dan narasinya kuat, pasti media akan meliput,” kata Momo.


Selain itu, mereka juga menyiapkan long march untuk mengangkat isu-isu aktual yang terjadi di Brazil.


Strategi tersebut dipilih karena ruang formal di forum global seringkali terbatas bagi masyarakat sipil. Aksi kreatif menjadi cara efektif untuk menembus batas dan menyuarakan isu dari akar rumput.


Pertemuan di Desa Mupa semakin istimewa dengan kehadiran Chief Raoni Metuktire, pemimpin legendaris masyarakat adat Kayapo. Tokoh berkarisma ini dikenal sebagai salah satu pejuang utama pelestarian hutan Amazon selama puluhan tahun.


“Desa Mupa yang menjadi tempat tinggalnya sering digunakan sebagai tempat pertemuan aktivis dan pemuka adat di Brazil. Bahkan cucunya pun ikut aktif dalam gerakan ini,” tutur Momo.


Saat Chief Raoni hadir, seluruh peserta menghentikan aktivitas mereka untuk mendengarkan pesan sang tetua. Bagi mereka, kehadirannya adalah simbol kesinambungan perjuangan lintas generasi.


Pertemuan itu juga melibatkan seorang shaman—tokoh spiritual adat—yang bertugas menjaga keseimbangan lahir batin para peserta, selaras dengan kearifan lokal yang mereka junjung tinggi.


Suara yang Menolak Menyerah

Bagi Momo, pengalaman di Mato Grosso menjadi salah satu konsolidasi paling berkesan yang pernah ia ikuti. “Rasanya sangat dekat dengan alam mendengar suara burung, melihat air sungai mengalir, berjalan tanpa alas kaki di tanah berdebu. Semua itu mengingatkan kami pada apa yang sebenarnya sedang kami perjuangkan,” ujarnya.


Di bawah langit Mato Grosso, pertemuan itu menjadi pengingat bahwa perjuangan iklim tidak hanya tentang angka emisi atau dana miliaran dolar. Ia juga tentang tanah yang dipijak, suara masyarakat adat yang bertahan, dan semangat anak muda yang menolak menyerah.


Dengan konsolidasi ini, suara anak muda dari Asia dan Amerika Latin siap menggema lebih lantang di panggung dunia saat COP 30 di Brazil November mendatang.

Previous Post Next Post