Aliansi Masyarakat Luwu Timur Desak DPRD Tindaklanjuti Kesepakatan Audit Lahan PT IHIP


LUWU TIMUR - Aliansi Masyarakat Luwu Timur (AMLT) mendesak DPRD Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, segera menindaklanjuti hasil kesepakatan rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar pada Senin (20/10/2025) lalu.


Dalam kesepakatan itu, DPRD berjanji melakukan audit investigasi menyeluruh terhadap lahan kompensasi di Desa Harapan yang disewakan kepada PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP).


Juru bicara AMLT, Wahyuddin, menyatakan hingga saat ini belum terlihat langkah konkret DPRD Luwu Timur dalam mewujudkan janji tersebut.


“Sampai hari ini saya belum melihat tanda-tanda DPRD Luwu Timur mewujudkan kesepakatan untuk melakukan investigasi menyeluruh. Olehnya itu, kami mendesak agar DPRD tidak lupa dengan komitmen itu,” kata Wahyuddin, Rabu (29/10/2025).


Menurut Wahyuddin, audit investigasi penting dilakukan untuk memastikan bahwa legalitas dan prosedur penyewaan lahan kompensasi Dam Karebbe (bendungan  yang dibangun oleh PT Vale Indonesia) telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


“Kami tidak anti terhadap investor. Tapi audit ini penting untuk mengetahui apakah lahan kompensasi itu layak dan sah secara administrasi serta hukum untuk dipersewakan oleh Pemkab Luwu Timur,” ucapnya.


Berdasarkan data yang dimiliki AMLT, alas hak kepemilikan lahan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur disebut bersumber dari pengalihan hak oleh PT Vale Indonesia. Padahal, kata Tom, PT Vale tidak memiliki kewenangan menyerahkan lahan di wilayah konsesinya kepada pihak lain.


“PT Vale bukan pemilik tanah, hanya pemegang konsesi. Jadi, tanah kompensasi bekas Dam Karebbe seharusnya menjadi hak negara dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia,” ujarnya.


Tom juga mengutip Risalah Pertimbangan Teknis Pertanahan BPN Luwu Timur Nomor 84/2022 tanggal 1 Agustus 2022, yang menyebut bahwa lahan kompensasi tersebut diperuntukkan untuk pembangunan budidaya tanaman reboisasi. Selain soal status lahan, AMLT juga menyoroti nilai sewa yang dianggap sangat rendah dan berpotensi merugikan keuangan daerah.


“Luas lahannya sekitar 394,5 hektare dengan nilai sewa Rp 4,4 miliar untuk lima tahun. Kalau dihitung, hanya Rp 225 per meter per tahun. Itu sewa termurah di Indonesia,” tuturnya.


Latar Belakang Kesepakatan DPRD dan AMLT

Kesepakatan audit lahan tersebut diambil dalam rapat dengar pendapat antara DPRD Luwu Timur dan AMLT pada Senin (20/10/2025) di ruang Banggar DPRD.


Rapat berlangsung tegang karena perwakilan eksekutif dari Dinas PUPR, Dinas Pertanian, dan Bidang Aset Daerah tidak hadir meski telah diundang secara resmi.


Ketua DPRD Luwu Timur, Ober Datte, menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya memanggil dinas terkait agar hadir.


“Sejak awal kami sudah minta mereka datang. saya hubungi lewat HP, tapi tidak tersambung, bahkan ada yang mengaku sedang dinas luar di Surabaya,” imbuh Ober saat itu.


Setelah perdebatan panjang, rapat akhirnya menghasilkan dua keputusan utama yakni DPRD Kabupaten Luwu Timur akan melakukan audit investigasi terhadap administrasi dan prosedural lahan kompensasi yang sudah menjadi aset daerah, serta proses sewa lahan antara Pemkab Lutim dengan PT IHIP, kemudian Program Sarana dan Prasarana (Sarpras) Kelapa Sawit tetap dilanjutkan sesuai hasil konsultasi Komisi II DPRD Luwu Timur dengan Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan, di mana delapan kelompok tani yang lulus administrasi tetap berhak melanjutkan program karena telah disetujui pemerintah pusat.


Hingga berita ini diterbitkan, DPRD Kabupaten Luwu Timur dan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur belum memberikan keterangan resmi mengenai tindak lanjut audit lahan kompensasi tersebut maupun hasil kesepakatan dengan AMLT.


Sebelumnya diberitakan ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Luwu Timur menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Senin (20/10/2025). Mereka menuntut transparansi pemerintah daerah terkait sejumlah kebijakan, khususnya rencana pembangunan kawasan industri pertambangan di Desa Harapan, Kecamatan Malili. 


Dalam aksi tersebut, massa mendesak DPRD untuk menggunakan hak angket guna menyelidiki dugaan penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum dalam proses pembangunan kawasan industri. 


Mereka menilai proyek tersebut melibatkan perusahaan asing tanpa keterlibatan masyarakat maupun legislatif. 


Koordinator aksi, Suparjo, menilai kebijakan pemerintah daerah dalam proyek industri di Desa Harapan menimbulkan banyak pertanyaan dan memicu kemarahan warga.


Ia menyoroti penyerahan lahan sekitar 394,5 hektare milik PT Vale Indonesia kepada Pemda dengan status APL (Areal Penggunaan Lain), yang kemudian diklaim sebagai aset daerah dan disewakan ke PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP). 


“Ada beberapa hal yang kami pertanyakan terkait kebijakan pemerintah, terutama mengenai kawasan industri di Desa Harapan, yang dikenal juga sebagai Lampia. Kompensasi lahan sekitar 394,5 hektare telah ditandatangani oleh bupati tanpa melibatkan masyarakat maupun DPRD,” ujar Suparjo di lokasi aksi.

Previous Post Next Post