PALOPO – Kepala Kejaksaan Negeri Palopo, Ikeu Bachtiar, memberikan klarifikasi terkait isu penganiayaan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum Kejari Palopo terhadap Ketua HIPMI Palopo, Imbara.
Dalam pernyataannya di ruang kerja Kejari Palopo, Rabu (30/7/2025), Ikeu menegaskan bahwa informasi yang disampaikan pihak kuasa hukum atau pelapor tersebut tidak sesuai fakta.
“Semua proses restorative justice (RJ) yang kami jalankan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak ada unsur pemaksaan, apalagi penganiayaan,” kata Ikeu.
Ia juga menjelaskan duduk perkara kasus yang sebelumnya ditangani Kejari Palopo. Kasus ini bermula dari akta jual beli (AJB) tahun 2000 antara Mala dan Hj. Maenong atas sebidang tanah seluas 3,4 hektare, yang merupakan bagian dari sertifikat hak milik (SHM) No. 27/1979 seluas 6,1 hektare.
Setelah AJB diteken, Mala meninggal dunia dan tanah dikuasai oleh istri dan ahli warisnya. Sementara pihak pembeli, Hj. Maenong, juga telah meninggal dunia dan hanya menyisakan ahli waris, yakni Bahra dan Ariswandi Bara.
Permasalahan muncul ketika pihak pembeli ingin memecah sertifikat sesuai luas tanah yang dibeli, namun pihak ahli waris penjual menolak. Kasus ini kemudian bergulir ke pengadilan dan kepolisian. Putusan pengadilan menyatakan AJB sah dan memerintahkan pemecahan sertifikat, namun perintah itu tidak dijalankan, hingga akhirnya pihak pembeli melapor ke Polres Palopo atas dugaan penggelapan dan mengabaikan putusan.
“Berkas perkaranya sudah lengkap (P-21) dan telah dilimpahkan ke Kejari Palopo. Dalam prosesnya, kami menempuh RJ karena memenuhi syarat formil dan materiil, termasuk adanya perdamaian dari kedua belah pihak,” jelas Ikeu.
Menurutnya, kedua belah pihak, termasuk korban Ariswandi dan tersangka, telah menandatangani kesepakatan perdamaian. Atas dasar itu, Kejari Palopo mengeluarkan surat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Namun, di tengah proses penyelesaian perkara, muncul permintaan dari pihak tertentu agar luas tanah dalam AJB diubah dari 3,4 hektare menjadi 4,4 hektare. Permintaan itu ditolak oleh BPN karena tidak memiliki dasar hukum.
“Permintaan perubahan luas lahan itu ditolak oleh BPN dan kami tegas menolak pula. Tapi setelah itu, pihak korban melalui kuasa hukumnya menyatakan menolak RJ, padahal prosesnya sudah selesai,” ungkapnya.
Surat penolakan RJ itu kemudian ditindaklanjuti dengan musyawarah pada 23 Juli 2025 di Kantor Kejari Palopo. Namun, yang hadir saat itu bukanlah pihak yang menandatangani kesepakatan awal.
“Dari sini mulai muncul laporan-laporan soal pemerasan dan penganiayaan. Saya tegaskan, semua itu tidak benar. Kami punya bukti rekaman CCTV dan dokumen lengkap,” tegas Ikeu.
Ia juga menyatakan bahwa pihaknya siap melaporkan balik pihak-pihak yang menyebarkan informasi tidak benar karena hal itu berdampak pada nama baik institusi.
“Silakan saja orang melapor, itu hak setiap warga. Tapi harus siap dengan konsekuensi hukum jika laporan tersebut terbukti palsu. Ini sedang kami kaji, termasuk kemungkinan untuk mengambil langkah hukum,” ujar Ikeu.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa prinsip RJ adalah perdamaian. Karena salah satu pihak kemudian tidak sepakat, maka kesepakatan tersebut dianggap batal dan perkara akhirnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Palopo pada hari yang sama, Rabu (30/7/2025).
“RJ bukan harga mati. Jika tidak ada kesepakatan, maka proses hukum tetap berjalan,” tutupnya.