Keadilan Substantif atau Sofisme Hukum? Menakar Narasi di Balik PSU Pilkada Palopo

 

Oleh : Syafruddin Jalal (Pemerhati Pemilu dan Praktisi Hukum Kota Palopo) 


Cinta pada kota dan rasa keadilan memang bisa datang dari mana saja. Bahkan dari secangkir kopi di Toronto. Tapi dalam urusan hukum, kita tidak hanya berbicara soal rasa, melainkan juga soal tata cara agar rasa itu bisa diwujudkan sebagai keadilan nyata.


Karena itu, Walter, saya membaca tulisan Anda sambil menyeruput kopi hitam juga, di tanah Palopo ini. Saya bisa rasakan kecintaan Anda pada kota ini melalui tulisan yang hangat, meski saya tak sependapat dengan sebagian besar isinya—terutama cara Anda menafsirkan keadilan substantif dalam konteks Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Palopo.


Kasus ini bukan soal substansi suara rakyat yang terganggu, tapi soal syarat pencalonan yang tidak terpenuhi—seperti dokumen pelunasan pajak dan pengumuman status sebagai mantan terpidana. Ini bukan hal sepele, seperti salah unggah ukuran pas foto. Ini menyangkut syarat legal-formal yang, bila dilanggar, mencederai prinsip keadilan itu sendiri. 


SILON: Sekadar Alat atau Penjaga Sistem?

Pilkada Serentak 2024, baik di Kota Palopo maupun Kabupaten Pasaman, telah menunjukkan bahwa ketika calon yang tidak memenuhi syarat tetap diloloskan, akibatnya bisa fatal: PSU harus dilakukan.


Keterpenuhan syarat kini dibuktikan melalui media elektronik bernama SILON (Sistem Informasi Pencalonan), yang algoritmanya mengikuti norma dalam PKPU Pencalonan. Meskipun hanya alat bantu, SILON adalah representasi dari sistem keterbukaan dan akuntabilitas dalam tata kelola pemilu modern.


SILON hanya dapat diakses oleh bakal pasangan calon (atau liaison officer), KPU, dan Bawaslu hingga batas waktu tertentu. Begitu penetapan calon dilakukan, sistem dikunci. Itu adalah “isyarat digital” bahwa masa perbaikan telah selesai. Jika ada perbaikan dokumen setelah itu, maka ia dianggap tidak sah dan menciderai prinsip prosedural yang berlaku. 


Bukan Media, Bukan KPU: Hanya Hakim yang Berwenang

Bagi para pembelajar hukum di mana pun, niscaya memahami bahwa bukan media, bukan pula penyelenggara pemilu yang menentukan keabsahan pencalonan, melainkan hakim.


KPU, di semua tingkatannya, tidak memiliki kewenangan untuk mengesahkan berkas yang telah melewati tenggat waktu, karena legalitas pencalonan merupakan domain pengadilan. Ketika tahapan sudah dikunci secara sistemik, setiap bentuk intervensi administratif pasca itu dapat menabrak asas kepastian hukum dan berisiko mencederai prinsip keadilan itu sendiri.


Namun, penting pula disadari bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan melalui putusan pengadilan, tetapi juga melalui mekanisme yang memastikan semua proses berlangsung adil sejak awal. Di sinilah algoritma SILON memainkan peran penting—sebagai alat bantu yang mengatur batas waktu, kesetaraan akses, serta kedisiplinan prosedural bagi seluruh pasangan calon.


Dengan cara itu, SILON tidak sekadar sistem digital, tetapi menjadi perwujudan dari prinsip bahwa hukum harus bekerja secara objektif, transparan, dan tidak memihak. Justru melalui prosedur yang konsisten itulah keadilan konstitusional menemukan bentuknya yaitu semua peserta diperlakukan sama di hadapan aturan. 


Narasi Keadilan Substantif: Sofisme yang Menyesatkan

Narasi bahwa perbaikan dokumen setelah penetapan adalah bentuk keadilan substantif adalah sofisme hukum—dalil yang tampak mulia tapi menyesatkan, demi membenarkan pelanggaran prosedur.


Lebih menyesatkan lagi bila narasi ini dikaitkan dengan Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 dalam kasus PSU Pilgub Jawa Timur. Memang, dalam putusan itu Mahkamah mengesampingkan kekakuan prosedural untuk menjaga hasil yang mencerminkan kehendak rakyat karena terjadi pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).


Namun, konteks di Kota Palopo sama sekali berbeda. Tidak ada pelanggaran TSM. Tidak ada rakyat yang kehilangan hak pilih. Yang terjadi adalah pelanggaran administratif: syarat pencalonan yang tidak dipenuhi tepat waktu. Bahkan, perbaikan dilakukan bukan atas inisiatif peserta, melainkan karena adanya rekomendasi dari Bawaslu. Maka, klaim tentang itikad baik pun kehilangan makna. 


Prosedur Bukan Musuh Keadilan, Tapi Fondasinya

Hukum pemilu sejak awal dibentuk sebagai hukum prosedural—yang di dalamnya tertanam nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.


Dalam demokrasi, rasa keadilan memang penting. Tapi rasa itu harus diterjemahkan dalam kerangka hukum yang tertib dan setara. Jika tidak, keadilan akan berubah jadi slogan kosong, dan hukum jadi alat pembenar bagi kelalaian dan pelanggaran.


Kota Palopo tidak butuh keadilan yang dikaburkan oleh romantisme atau retorika. Palopo butuh keadilan yang ditegakkan lewat prosedur yang konsisten dan berintegritas. 


Penutup

Pada akhirnya, prosedur yang adil adalah fondasi keadilan substantif yang sesungguhnya. Bila kita longgarkan prosedur demi menuruti narasi tertentu, kita bukan sedang memperjuangkan keadilan—melainkan sedang melemahkan pilar utama demokrasi itu sendiri.


Dan keadilan, kadang terasa seperti secangkir kopi—pahit, tapi harus diteguk agar kita tetap terjaga. Terjaga untuk mengawal keadilan pemilu, di tengah kecurangan yang kian lihai menyamar.


Terima kasih, Walter, atas ajakan berdiskusi. Semoga kopi kita masing-masing tetap hangat, dan dialog ini bisa melahirkan pemahaman yang lebih jernih tentang arti keadilan dalam demokrasi. (*)

Previous Post Next Post