Pengesahan Revisi UU PPP, PB HMI MPO: DPR Gagal Maknai Partisipasi Publik

Revisi Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU PPP) disahkan oleh DPR menjadi undang-undang, pada Selasa (24/5/2022).

Pengesahan dilakukan dalam rapat ke-23 masa sidang V tahun 2021-2022, di gedung DPR Senayan. Rapat dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani, didampingi Wakil Ketua DPR Lodewijk Paulus, Rachmat Gobel, dan Sufmi Dasco Ahmad.

Wasekjend Komisi Hukum dan HAM PB HMI MPO, Muhammad Aldiyat Syam Husain, mengatakan bahwa revisi UU PPP hanya bertujuan untuk memuluskan omnibus law atau UU Cipta Kerja.

Padahal menurutnya dari awal proses sampai pengesahan UU Cipta Kerja mendapat penolakan keras masyarakat, bahkan pada saat dilakukan pengujian UU tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK) diputuskan inkonstitusional bersyarat.

“Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja, MK menyoroti metode omnibus law tidak diatur dalam pembentukan UU di Indonesia dan belum optimalnya partisipasi yang bermakna dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

MK memerintahkan pembentukan UU untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak diputuskan pada 25 November 2021,” paparnya, Rabu (1/6).

Aldiyat juga menegaskan bahwa seharusnya revisi UU bukan hanya bertujuan untuk menjalankan formalitas saja.

“Harusnya revisi UU PPP tidak ditujukan sebagai formalitas untuk menjalankan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” terangnya.

Ia pun menjelaskan revisi UU PPP harusnya mengatur segala muatan materi, mulai dari tata kelola hingga tahap evaluasi.

“Revisi UU PPP mestinya mengatur materi yang diperlukan untuk mendukung tata kelola regulasi, seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, monitoring dan evaluasi. Upaya ini lebih tepat dari persoalan memenuhi legalitas dari penggunaan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Pihaknya pun menilai bahwa pemerintah telah gagal dan abai dalam memutuskan perkara semacam ini, terlebih DPR tidak memperhatikan partisipasi publik.

“Kami menilai pemerintah dan DPR mengabaikan putusan MK dan kegagalan mereka memaknai partisipasi bermakna dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja seharusnya merupakan tamparan keras bagi pembuat undang-undang untuk memperhatikan partisipasi dalam membuat regulasi apalagi soal revisi UU PPP,” tandasnya.

Previous Post Next Post