JAKARTA – DBS Group memproyeksikan perekonomian Indonesia pada 2026 akan tumbuh moderat di kisaran 5,2 persen (year on year), didukung oleh kebijakan fiskal yang lebih ekspansif, koordinasi moneter yang akomodatif, serta dorongan investasi yang semakin kuat.
Proyeksi tersebut tertuang dalam laporan DBS Focus Indonesia 2026 Outlook: Saatnya Bertindak, yang dirilis pada 22 Desember 2025. DBS menilai prospek ekonomi Indonesia ke depan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah mengalihkan kebijakan dari tahap perencanaan ke tahap implementasi yang konkret
DBS menyebut arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan perlu dipahami melalui kerangka “Sumitronomics”, yakni pendekatan pembangunan yang menekankan peran industrialisasi, manufaktur, serta kebijakan fiskal yang lebih aktif untuk mendorong pertumbuhan. Kerangka ini terinspirasi dari pemikiran ekonom senior Sumitro Djojohadikusumo.
“Memasuki tahun kedua pemerintahan Prabowo-Gibran, orientasi kebijakan terlihat semakin jelas untuk mendorong pertumbuhan melalui koordinasi fiskal dan moneter yang lebih erat,” tulis DBS dalam laporannya
Fiskal Lebih Agresif, Investasi Dipimpin Negara
DBS memperkirakan 2026 akan ditandai oleh pergeseran dari ortodoksi fiskal yang konservatif menuju kebijakan fiskal yang lebih proaktif. Pemerintah diproyeksikan meningkatkan belanja investasi yang dipimpin negara, khususnya untuk sektor pangan, energi, perlindungan sosial, serta pembangunan infrastruktur publik.
Target defisit fiskal 2026 diperkirakan melebar menjadi -2,68 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan target sebelumnya, namun tetap berada di bawah ambang batas 3 persen. Total belanja negara diperkirakan meningkat menjadi Rp 3.843 triliun, termasuk alokasi besar untuk program makan gratis dan belanja pertahanan
DBS menilai, selama belanja tersebut dieksekusi secara efektif, defisit berpotensi melebar hingga mendekati -2,9 persen, namun masih dalam batas aman.
Konsumsi dan Ekspor Tetap Menopang Pertumbuhan
Dari sisi permintaan domestik, konsumsi rumah tangga—khususnya kelompok berpendapatan rendah—diperkirakan membaik seiring peningkatan anggaran program bantuan sosial dan perluasan penerima manfaat. Sementara itu, konsumsi kelas menengah diproyeksikan tumbuh lebih terbatas.
Ekspor juga diperkirakan tetap solid, didukung kinerja sektor manufaktur, komoditas, serta permintaan global, terutama dari Tiongkok dan dampak lanjutan siklus teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI). Pada 2025, neraca perdagangan Indonesia diproyeksikan mencatat surplus tertinggi dalam tiga tahun terakhir, di atas USD 41 miliar
Rupiah Diperkirakan Stabil, Namun Rentan Risiko Global
Dari sisi nilai tukar, DBS memperkirakan USD/IDR akan bergerak stabil di kisaran 16.000–16.900 sepanjang 2026. Namun, dalam skenario terburuk akibat guncangan pertumbuhan global dan meningkatnya risiko perdagangan, rupiah berpotensi melemah hingga menembus level 17.000 per dolar AS
DBS menekankan bahwa stabilitas makroekonomi Indonesia masih terjaga, dengan inflasi yang terkendali, defisit transaksi berjalan yang relatif moderat, serta cadangan devisa yang terus diperkuat melalui kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor.
Tantangan Implementasi Jadi Kunci
Meski prospek dinilai positif, DBS mengingatkan bahwa tantangan utama Indonesia ke depan terletak pada konsistensi implementasi kebijakan, kepastian regulasi, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.
“Untuk mendorong pertumbuhan menuju 6 hingga 8 persen secara berkelanjutan, Indonesia memerlukan reformasi struktural yang tegas, investasi manufaktur, serta penguatan modal manusia,” tulis DBS
.jpg)