TORAJA UTARA - Semangat baru tengah tumbuh di
kalangan petani kopi di Kecamatan Buntao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi
Selatan. Melalui Program Kolaborasi Sosial Membangun Masyarakat (Kosabangsa)
2025, sejumlah perguruan tinggi berkolaborasi mendorong transformasi sektor
kopi menuju produksi specialty coffee berbasis praktik pertanian dan pengolahan
yang berkelanjutan.
Program bertajuk “Pemberdayaan Petani Kopi Menuju
Produksi Specialty Coffee Berbasis GAP dan GMP untuk Mewujudkan Ketahanan
Pangan dan Ekonomi Berkelanjutan” ini mempertemukan sains, tradisi, dan inovasi
dalam satu harmoni pembangunan masyarakat.
Ketua Tim Pendamping dari Universitas Halu Oleo (UHO)
Kendari, Prof. Muhammad Taufik, menyatakan pentingnya penerapan Good
Agricultural Practices (GAP) sebagai dasar peningkatan mutu hasil panen.
“Petani bukan sekadar penanam, tetapi penjaga
kesempurnaan rasa dari tanah yang mereka cintai,” kata Taufik, saat
dikonfirmasi, Senin (6/10/2025).
Sementara itu, pakar teknologi pangan Fitri Faradilla,
menyoroti pentingnya Good Manufacturing Practices (GMP) sebagai upaya menjaga
kualitas pascapanen. Menurutnya, pengolahan yang baik akan menjadi jembatan
antara kualitas hasil panen dan cita rasa khas kopi Toraja yang dikenal hingga
mancanegara.
“Setiap biji kopi adalah hasil dialog antara ilmu,
kearifan lokal, dan kesungguhan tangan-tangan terampil,” ucap Fitri.
Pakar fermentasi kopi, Prof. Tamrin, menekankan
pentingnya inovasi mikroba alami dalam membentuk cita rasa unik kopi Toraja.
“Fermentasi bukan sekadar proses kimia, tetapi seni yang
mengubah hasil bumi menjadi identitas rasa yang mendunia,” ujar Tamrin.
Dari pihak Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja,
Althon K. Pongtuluran, selaku Ketua Tim Pelaksana, menjelaskan bahwa program
Kosabangsa tidak hanya berfokus pada aspek teknis pertanian, tetapi juga memiliki
dimensi sosial dan ekonomi.
“Kopi bukan hanya komoditas, tapi narasi kesejahteraan.
Pemberdayaan petani berarti merawat akar ekonomi lokal yang menumbuhkan
bangsa,” tutur Althon.
Senada dengan itu, Rigel menekankan pentingnya pendidikan
dan pelatihan bagi petani sebagai bagian dari keberlanjutan program.
“Ilmu memberi arah, keterampilan memberi kekuatan, dan
kolaborasi membawa cinta dan kehidupan,” imbuh Rigel.
Di sisi pertanian praktis, Adewidar Marano menegaskan
komitmen terhadap peningkatan produktivitas lahan melalui penerapan teknologi
adaptif dan ekologis. Pendekatan ini diharapkan mampu menjaga keseimbangan
antara produktivitas dan kelestarian lingkungan.
Program Kosabangsa 2025 di Toraja Utara juga mendapat
dukungan penuh dari Lembang Rinding Kila, Toraja Utara. Kepala Lembang Rinding
Kila, Saul Saleaka Patiung, menyampaikan apresiasinya atas kehadiran akademisi
di tengah masyarakat.
“Kami melihat ilmu bukan lagi di ruang kuliah, tapi hidup
di kebun dan di hati petani kami,” terang Saul.
Kegiatan ini melibatkan dua kelompok mitra utama, yakni
Kelompok Tani Buntu Tille dan Kelompok Wanita Srikandi Kreatif Tagari, yang
menjadi garda depan penerapan standar GAP dan GMP di lapangan.
Beberapa bulan sejak pelaksanaannya, dampak positif mulai
terlihat. Petani kini lebih memahami pentingnya proses sortasi biji, fermentasi
terkontrol, hingga penyimpanan yang sesuai standar. Hasil panen menunjukkan
peningkatan kualitas secara signifikan, dengan aroma dan cita rasa yang lebih
konsisten.
“Bagi para petani, program ini membawa angin segar, kini
mereka lebih percaya diri dengan hasil kebunnya. Dulu petani hanya jemur dan
sangrai biasa. Sekarang sudah tahu cara mengatur kadar air dan waktu
fermentasi. Rasanya beda, aromanya juga lebih kuat,” jelas Saul.
Menurut Saul, kegiatan pelatihan dan pendampingan membuka
peluang baru bagi kelompok perempuan untuk berdaya secara ekonomi tanpa
meninggalkan akar tradisi mereka.
“Kami ingin kopi ini bukan cuma dikenal karena rasa, tapi
juga karena tangan perempuan Toraja yang merawatnya,” tambahnya.
Kolaborasi lintas universitas ini menjadi bukti bahwa
ilmu pengetahuan, bila berpadu dengan kearifan lokal, mampu menghadirkan
perubahan nyata. Dari kebun di lereng Toraja, aroma kopi kini bukan sekadar
hasil bumi, tetapi simbol kemandirian, kerja sama, dan harapan baru bagi
kesejahteraan petani.
Program Kosabangsa 2025 menjadi bukti nyata bahwa
keberlanjutan tidak hanya lahir dari kebijakan, tetapi dari kolaborasi,
inovasi, dan semangat masyarakat yang ingin maju bersama.