Dinas Sosial Palopo Bantu Asriani, Warga Ponjalae yang Hidup dengan Keterbatasan



PALOPO – Senyum ceria di sebuah rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Ponjalae, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dialami Asriani (40). Hari ini dirinya tak menyangka jika akan didatangi pemerintah yakni Dinas Sosial dan pihak Kelurahan. Dirinya kaget saat didatangi tim tersebut yang terlihat membawa sejumlah perlengkapan dan langsung menuju rumah.


Saat didatangi, Asriani langsung menangis bersedih mendapatkan kasur impian bertuliskan #Kemensos hadir, kasur itu telah diimpikan untuk anak-anaknya agar tidurnya bisa nyenyak. Selain itu, sejumlah tim mengantar barang lain yakni perlengkapan dapur bersama bahan makanan untuk melengkapi gizi guna   membesarkan lima anak dan dua cucu dengan penuh keterbatasan.


“Terima kasih ya Allah engkau telah memberikan kami bantuan, terima kasih Bu Lurah dan Pak Kadis Sosial telah memberikan bantuan kepada kami, semoga berkah,” ucapnya sambil mata menangis.

.

Bantuan dari Dinsos

Kisah perjuangan Asriani viral di media sosial dan mengundang perhatian publik. Dinas Sosial Kota Palopo pun turun tangan memberikan bantuan langsung.


Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial, Dinas Sosial Kota Palopo, Irpandi, mengatakan pihaknya segera menindaklanjuti laporan masyarakat begitu mengetahui kondisi Asriani.


“Alhamdulillah, hari ini kami dapat membawa bantuan yang langsung bisa digunakan, seperti kasur, perlengkapan bayi, tempat susu, beras, selimut untuk anak-anak, makanan berupa biskuit dan susu, serta perlengkapan dapur,” ucap Irpandi saat dikonfirmasi usai menyalurkan bantuan, Kamis.


Menurut Irpandi, bantuan tersebut bersifat darurat untuk meringankan kebutuhan sehari-hari. Ke depan, pihaknya akan mengupayakan agar Asriani masuk dalam program perlindungan sosial pemerintah, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).


“Untuk PKH dan BPNT, kami akan berkoordinasi lebih dulu terkait data kependudukannya. Setelah itu baru bisa kami usulkan agar yang bersangkutan masuk daftar penerima bantuan,”ujarnya.

 

Masih Ada PR Besar

Meski bantuan tersebut sedikit meringankan beban, persoalan yang dihadapi keluarga Asriani masih menyisakan pekerjaan rumah bagi negara.


Stunting dan putus sekolah menjadi ancaman nyata di tengah keterbatasan ekonomi yang dialami keluarga ini. Dengan kondisi pendapatan yang tak menentu, kebutuhan gizi anak-anak serta biaya pendidikan kerap tak terpenuhi.


Irpandi tak menampik bahwa persoalan seperti yang dialami Asriani bukan hanya soal bantuan kebutuhan pokok, tetapi juga menyangkut masa depan generasi.


“Masih ada beban besar yang harus kita pikirkan bersama, yaitu bagaimana anak-anak ini tidak jatuh dalam masalah stunting dan bisa tetap melanjutkan sekolah. Itu tantangan yang butuh kerja sama lintas sektor, bukan hanya Dinas Sosial,” tuturnya.


Sebelumnya diberitakan Di sebuah rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Ponjalae, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, Asriani (40) membesarkan lima anak dan dua cucu dengan penuh keterbatasan. Sehari-hari, ia hanya mengandalkan pekerjaan sebagai pengikat rumput laut dengan penghasilan tak menentu.


“Pendapatanku tidak menentu, kadang ada, kadang juga tidak. Tapi apa boleh buat, harus tetap kerja demi anak-anak,” kata Asriani saat ditemui, Rabu (10/9/2025).


Asriani tinggal di rumah kontrakan yang mereka sewa Rp 450 ribu per bulan. Empat anak lainnya berhenti sekolah karena terbentur masalah biaya.


“Tidak sekolah bu karena tidak ada uangku belikan baju sekolah sama keperluan lainnya,” ucap Asriani lirih.


Kondisi itu membuat Asriani merasa berat hati. Ia ingin anak-anaknya menempuh pendidikan yang lebih baik, tetapi kenyataan ekonomi justru menutup kesempatan itu.


Kondisi keluarga miskin ini semakin memprihatinkan ketika anak keempatnya diduga mengalami stunting. Bocah itu sudah berusia tujuh tahun, namun secara fisik masih terlihat seperti anak berusia empat tahun.


“Kecil sekali badannya, meski umurnya sudah tujuh tahun. Saya khawatir kesehatannya,” ucap Asriani.


Stunting menjadi ancaman nyata bagi keluarga miskin seperti Asriani. Terbatasnya asupan gizi akibat kesulitan ekonomi membuat tumbuh kembang anak-anak tidak optimal.


Di kontrakan kecil itu, Asriani bersama anak dan cucunya hanya bisa tidur beralaskan matras tipis. Mereka tidak memiliki kasur, bahkan perabotan rumah pun sangat terbatas.


“Yang penting bisa tidur, walaupun di lantai. Anak-anak sudah biasa begitu,” ujarnya.


Kondisi ini menggambarkan betapa sulitnya kehidupan yang ia jalani. Namun, Asriani tetap berusaha tegar dan tidak ingin menyerah pada keadaan.


Kisah pilu lainnya muncul dari anak bungsu perempuan tersebut. Bocah berusia 7 tahun itu semestinya sudah duduk di bangku sekolah dasar. Namun, ia sempat tertinggal karena tidak memiliki seragam sekolah.


“Waktu ada program pemberantasan anak putus sekolah, ibunya datang dan cerita kalau anaknya belum sekolah. Alasannya sederhana, tidak ada biaya untuk beli seragam,” imbuhnya.


Pihak kelurahan kemudian menjembatani agar anak itu bisa diterima bersekolah di SD di wilayah Ponjala Baru. Pihak sekolah bahkan memperbolehkan ia belajar dengan pakaian biasa terlebih dahulu, sambil menunggu seragam didapatkan dari donasi warga.


Namun, rasa malu membuat bocah tersebut enggan masuk sekolah tanpa seragam. Akibatnya, ia sudah hampir dua pekan absen dari bangku sekolah, meski sudah diterima secara resmi.


Kisah ini menjadi potret nyata bahwa persoalan administrasi dan kebutuhan sederhana seperti seragam sekolah, bisa menjadi penghalang besar bagi keluarga kurang mampu untuk mendapatkan hak dasarnya.


Kisah Asriani hanyalah satu dari banyak potret kemiskinan ekstrem yang masih ditemui di berbagai daerah. Stunting yang dialami anaknya juga menjadi peringatan bahwa persoalan gizi buruk masih menghantui, terutama bagi keluarga miskin.

 

Previous Post Next Post