LUWU - Isu kewajiban membayar royalti bagi pemilik kafe atau warung kopi (warkop) yang memutar lagu kembali menjadi perbincangan. Di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha kecil, yang merasa terbebani dengan biaya operasional tambahan.
Peraturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang
Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Regulasi ini mewajibkan
setiap tempat usaha komersial yang memutar musik, termasuk dari layanan
streaming berbayar, untuk membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak
terkait.
Salah satu pemilik warung kopi (Warkop) 48 di Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Fadli (32) mengaku belum sepenuhnya memahami aturan ini. Ia khawatir kebijakan royalti akan memukul pelaku usaha kecil yang pendapatannya tidak menentu.
“Sudah saya dengar kemarin diberita.
Katanya nanti ada pajaknya untuk pemutaran music atau royaltinya. Jadi kami juga bingung, regulasinya seperti
apa. Takutnya kami berdampak pada pelanggan karena tidak ada hiburan-hiburan untuk dengar music,” kata Fadli saat dikonfirmasi, Jumat (8/8/2025)
sore.
Menurut Fadli, musik adalah bagian penting dari suasana warkop untuk menarik pelanggan.
Jika harus membayar royalti, beban biaya operasional akan meningkat.
“Selama ada pemberitahuan
itu yah saya hentikan dulu musik. Jadi saya khawatir jangan sampai nanti
disuruh bayar royalty,” ucapnya.
“Kami pelaku UMKM dirugikan dengan hal ini karena akan
bertambah ongkos,” tambahnya.
Fadli mengatakan
sejak isu tersebut dan tidak lagi memutar musik di Warkopnya, omset mengalami penurunan.
“Penurunan
pengunjung mencapai 30 persen. Biasanya banyak pengunjung yang request lagu
apalagi kalau ada kegiatannya pengunjung biasa minta diputarkan lagu sesuai
pesanannya, jadi saya bingung juga dan terpaksa saya tiadakan dulu musik,”
ujarnya.
Fadli berharap
ada sosialisasi dan kerja sama kolektif antara lembaga terkait, pencipta lagu,
dan para pemilik warkop untuk
mencari solusi terbaik.
“Selama ini juga
belum ada sosialisasi di cafe atau Warkop. Kami harap kedepan janganlah ada
seperti ini. Kami pelaku UMKM saat ini penghasilan sudah anjlok selama
efisiensi anggaran ditambah lagi kebijakan royalti untuk pemutaran musik,”
tuturnya
Dosen Universitas
Islam Negeri (UIN) Palopo, Alghazali mengaku, pemutaran lagu di tempat usaha,
termasuk kafe dan warkop, untuk kepentingan komersial, diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Menurut Alghazali
undang-undang ini menyatakan pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak
eksklusif untuk mendapatkan royalti atas penggunaan ciptaannya.
"Termasuk
dalam bentuk lagu atau musik, di tempat-tempat komersial. Setiap orang
menggunakan lagu untuk kepentingan komersial, wajib meminta izin dan membayar
royalti kepada pemegang hak cipta atau melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)
yang ditunjuk, hanya saja sambung Alghazali, sering kali, persepsi owner warkop
atau cafe merasa sudah membayar hak cipta dengan cara membeli kaset ataupun
berlangganan,” jelasnya.
Persepsi 'sudah
bayar' sebagian pemilik kafe mungkin merasa sudah membayar hak cipta dengan
cara lain, misalnya dengan membeli kaset atau CD asli, atau berlangganan
layanan musik berbayar seperti Spotify atau YouTube Premium.
"Padahal,
langganan tersebut bersifat personal dan tidak memberikan lisensi untuk
penggunaan komersial di ruang publik. Sosialisasi terkait perbedaan ini sering
kali tidak sampai kepada pelaku usaha. Perlu kerja sama kolektif antar lembaga
untuk memberikan edukasi serta menyortir lagu yang aman untuk dimainkan. Tentu
dengan persetujuan band atau pencipta musik, lembaga otoritas yang bertanggung
jawan, serta melibatkan perhimpunan owner cafe ini," terang Alghazali.
Penjelasan LMKN tentang Skema Pembayaran
Berdasarkan aturan, pembayaran royalti dihimpun dan
didistribusikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tarif yang
ditetapkan, misalnya untuk kafe dan restoran, adalah sekitar Rp 120.000 per
kursi per tahun, yang terbagi untuk hak cipta dan hak terkait.
Meskipun demikian, narasi bahwa royalti akan mematikan usaha
kecil dinilai keliru oleh LMKN. Mereka menegaskan, pembayaran royalti adalah bentuk
penghargaan terhadap hak pencipta. LMKN juga menjelaskan bahwa pembayaran tetap
wajib dilakukan meskipun musik diputar dari platform digital seperti Spotify,
karena langganan tersebut bersifat personal, bukan untuk penggunaan komersial.
Dengan adanya polemik ini, pemilik kafe di Luwu masih
menunggu kejelasan dan sosialisasi lebih lanjut agar mereka dapat menjalankan
usaha sesuai aturan tanpa merasa terbebani.