Menurut Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), puncak musim kemarau 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menyampaikan pada periode Juli-Agustus-September 2024, El Nino Southern Oscilation (ENSO) Netral diprediksi akan beralih menuju fase La Nina lemah yang akan bertahan hingga akhir tahun 2024.
Tata Sudrajat, Chief (Interim) Advocacy, Campaign, Communication and Media Save the Children Indonesia mengatakan fenomena La Nina lemah ini diprediksi tidak berdampak
pada musim kemarau yang akan segera hadir.
“Kekeringan yang berlangsung terus-menerus akan menempatkan anak pada posisi paling rentan, yang terpaksa mengorbankan waktu belajar dan berisiko terhadap kesehatan mereka, seperti, malaria, demam berdarah, infeksi pernafasan, dan penyakit kulit. Ini tidak bisa diabaikan kita harus segera bertindak untuk memastikan hak-hak mereka tetap terpenuhi walaupun dalam situasi krisis,” kata Tata Sudrajat.
Kajian
cepat Save the Children Indonesia pada November 2023, memaparkan bahwa
kekeringan berdampak pada kesehatan, gangguan pada pendidikan anak serta
mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat. Penelitian yang berfokus pada 3
kabupaten: Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang ini berfokus pada dampak dan
langkah kesiapsiagaan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi kekeringan
di Indonesia.
"Dampak
kekeringan pada pendidikan anak-anak dapat terlihat dari bagaimana anak-anak
sulit berkonsentrasi saat pelajaran berlangsung, misalnya di Lombok Barat,
anak-anak harus bangun pada jam tiga pagi untuk mengantri mengambil air sebelum
pergi kesekolah. Di Sumba timur, anak-anak harus menempuh perjalanan 1,5–2 km
ke mata air setiap jam 5 pagi," ucap Tata Sudrajat.
Pada isu kesehatan, malaria dan demam berdarah dapat
menjadi problema akibat kelangkaan air yang menciptakan lingkungan yang ideal
bagi perkembangbiakan nyamuk pembawa penyakit.
"Kurangnya sumber air yang memadai memaksa masyarakat untuk menyimpan air, sehingga secara tidak sengaja menciptakan tempat berkembang biak bagi nyamuk. Tidak hanya malaria dan demam berdarah, risiko penyakit pernafasan, dan penyakit kulit seperti infeksi bakteri dan jamur pada kulit, termasuk namun tidak terbatas pada impetigo, kudis, dan dermatitis jamur bisa terjadi akibat ketidakmampuan untuk menjaga praktik kebersihan," ujar Tata Sudrajat.
Selain itu, gagal panen akibat kekeringan mengakibatkan nutrisi anak dan ibu hamil tidak terpenuhi akibat penurunan ketersediaan makanan yang bergizi.
"Tidak hanya itu gagal panen juga berefek pada ekonomi keluarga. Di Sumba Timur misalnya, untuk mengatasi tantangan ini, keluarga yang kesulitan keuangan terpaksa menjual aset berharga, termasuk kambing, unggas, dan bahan atap, untuk mendapatkan dana guna membeli air bersih," tutur Tata Sudrajat.
Save the Children Indonesia menyerukan kepada pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk segera berkolaborasi dalam memperkuat langkah-langkah mitigasi dan adapatasi terhadap krisis iklim.
"Tindakan kolektif yang cepat dan terarah sangat diperlukan untuk mengkaji lebih jauh dampak perubahan iklum terhadap kesejahteraan keluarga dan anak, mentransfer istilah-istilah iklim ke dalam bahasa yang lebih mudah difahami masyarakat, orangtua, dan anak; menyampaikan pesan-pesan mitigasi dan adaptasi dalam bahasa masyarakat; memastikan akses yang adil terhadap sumber daya yang penting seperti air bersih, serta menyediakan dukungan yang diperlukan bagi keluarga dan anak-anak yang paling terdampak," jelas Tata Sudrajat.