Surat Terbuka Swiss Winnasis Kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI

tulisan ini dikutip dari group WA 1 Anak Sylva, dan sesuai dengan apa yang ada di halaman facebok Swiss Winnasis

Kepada Yth.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI

Assalamu'alaikum,
Perkenalkan Bu Siti Nurbaya, nama saya Swiss Winnasis. InsyaAllah sampai hari ini saya masih anggota Ibu di kementerian besar ini. Penempatan kerja saya di Taman Nasional Baluran sebagai PEH, NIP 19810519 200801 1 001. Baru saja menyelesaikan studi S2 di Univ. Brawijaya, Fak. MIPA, jurusan Biologi Konservasi. Beasiswa dari KLHK. Prestasi besar selama menjadi mahasiswa: tidak sampe kena DO. Bu Siti, sebagai pegawai KLHK, apa yang ada di dalam tulisan ini bukan representasi UPT dimana sekarang saya bekerja. Segala konsekuensi dari tulisan ini menjadi tanggung jawab saya sebagai pribadi. Jadi mohon kepala balai saya jangan dimarahi njih?

Bu Siti, sejak ada wacana revisi daftar PP no7/1999 Tentang Daftar Jenis Flora-Fauna Dilindungi,lalu lahir Permen LHK no20/2018, saya dan mungkin semua pemerhati kelestarian hayati melihat ini adalah sebuah kemajuan yang luar biasa dalam konservasi spesies di Indonesia. Coba Ibu bayangkan saja, 19 tahun banyak flora-fauna kita yang tereksploitasi karena banyak jenis2 rawan yang belum masuk di PP no 7. Rentang 19 tahun itu belum diperparah dengan praktik penegakan hukum yang setengah-setengah. 19 tahun kita menunggu PErmen ini.

Mulai dari sini saya ingin mengerucut pada kelompok burung. Mengingat burung menyumbang jenis terbanyak dalam daftar fauna dilindungi.

Belum selesai rasa bahagia kami dengan lahirnya permen 20, hanya 2 bulan lebih dikit umurnya, tiba-tiba permen direvisi! Saya kira ini rekor peraturan paling progresif, adaptif, dan up to date terhadap dinamika masyarakat di bawah. Dua bulan lebih dikit sudah direvisi! Dan dari sinilah saya sebagai pegawai KLHK merasa -maaf- malu. Mungkin juga minder. Di saat psikologis kami, petugas di daerah dan penggiat konservasi burung, sedang tinggi-tingginya, keputusan revisi itu benar-benar menjatuhkan mental, semangat bahkan harga diri kami. Teman-teman KSDA di seluruh Indonesia tentu tahu rasanya. Bagaimana mereka setiap hari disatroni para kicau mania. Bersosialisasi kesana kemari. Bermodal permen 20 yang fantastis itu. Dan sekarang, semoga mereka masih menyisakan semangatnya. Dan memang harus semangat kan?

Kenapa saya begitu bergairah dengan lahirnya permen ini? Saya mengamati burung sejak 1999. Tepat di tahun sama dengan lahirnya PP no 7. Sembilan belas tahun saya mengamati bagaimana hutan-hutan yang terlihat indah permai tapi lambat laut nan pasti beranjak sepi. Tahun 2008 saya masuk Baluran, Anda tahu yang namanya Prenjak Jawa itu ting tlecek dimana-mana. Seraya seluruh hutan Baluran itu cuma milik burung ini. Sekarang kalau Bu Siti jalan-jalan di Baluran, jangankan lihat burungnya, dengar suaranya saja tidak ada! Di tahun yang sama, Tahura R. Soeryo itu kantongnya burung. Di sana ada kolam pemandian air panas. Di tahun itu, orang-orang yang mandi bisa sambil ditemani burung bernyanyi dan menari di sekitar kolam. Yang namanya burung kacamata gunung itu burung paling membosankan, karena saking banyaknya! Sekarang? LENYAP! Kemana mereka? Kalau boleh mengacu laporan Traffic tahun 2015, dari 3 pasar burung terbesar di Jawa (Pramuka, Jatinegara, dan Barito) ada 19,039 ekor burung dari 206 spesies! Jumlah terbesar adalah jenis kacamata!

Balada Kucica Hutan, Cucak Rawa dan Jalak Suren yang dikeluarkan dari daftar satwa Dilindungi

Bu Menteri yang terhormat. Saya, atau bahkan sebagian besar penggiat konservasi burung di Indonesia, adalah pengikut garis moderat dalam menyikapi tren pemeliharaan burung dewasa ini. Perubahan adalah niscaya. Termasuk Permen yang berubah dalam hitungan bulan itu. Tapi kenapa harus dengan seperti ini perubahannya? Tanpa ada penjelasan metodologis yang jelas. Apakah tekanan massa yang demo di depan gedung mewah 14 lantai itu layak untuk menggugurkan fakta (scientific proven) bahwa ketiga burung itu sudah nyaris punah di alam?

Karena saya tidak tahu dasar saintifik yang digunakan dalam revisi permen. Saya juga tidak berhasil mengakses banyak informasi dari laman LIPI, atau hasil-hasil penelitian ttg 3 jenis yang dilakukan oleh LIPI, mohon ijin saya pake data Burungnesia. Njenengan pasti tidak pernah dengar Burungnesia to? hehehe... BUrungnesia adalah aplikasi berbasis Android dalam memetakan sebaran burung REAL TIME di SELURUH INDONESIA! Siapa yang memetakan? Siapa saja yang peduli dengan kelestarian burung di Indonesia. Silahkan unduh aplikasi ini di Google Playstore (https://goo.gl/Y1z7xm). Saya dibantu tim BIRDPACKER (www.birdpacker.com)yang berada di meja dapurnya.

Apakah data BUrungnesia layak dijadikan rujukan? Kalau ukurannya adalah besaran dana, saya yakin iya. Karena semua yang terlibat dalam pengumpulan data burungnesia bersifat sukarela, dananya tak terbatas dari Gusti Allah Foundation. Kalau ukurannya besaran data yang mengalir ke server, saya yakin ini adalah gerakan pemetaan hayati sukarela terbesar yang pernah ada di Indonesia. SOmbong kan saya?

Sampai tulisan ini dibuat, BUrungnesia (atau saya singkat burnes biar enak) sudah diunduh 4,560 kali. Ada 1,331 user aktif yang ngirim data setiap hari. Ada 31,468 rows data yang dikirim dari 2,416 titik pengamatan dari seluruh Indonesia. Dan sudah mencatat 919 jenis burung, itu sudah lebih separuh total jenis burung di Indonesia! Semua data itu terus bertambah setiap hari.

Tentang kualitas data? Dari 1,331 user aktif itu, sudah melalui proses seleksi sebelum mereka di-approve sama tim dapur burnes. Jadi hanya mereka yang punya kompetensi yang bisa mengirimkan datanya melalui burnes. Itu sebabnya kenapa yang unduh 4 ribuan tapi yang aktif cuma seribuan. Karena ini urusannya dengan data ilmiah yang harus terjaga keotentifikasinya. Kalau Ibu sempat unduh aplikasi ini gak usah repot-repot registrasi, karena pasti akan ditolak sama admin burnes. Ibu kan bukan pengamat burung to? hehehe... Ohya, banyak juga lo kawan-kawan KLHK yang menggunakan aplikasi untuk memonitoring burung di masing2 UPT. Dan saya bisa pastikan mereka adalah pengamat burung handal. Keren kan?

Baik Bu Menteri, kalau Ibu lihat peta yang saya attach bersamaan dengan tulisan ini, ANda bisa lihat sendiri betapa susahnya menemukan Kucica Hutan (KH), Jalak Suren (JS) dan Cucak Rawa (CR) di habitat aslinya. Bahkan CR tidak satupun pengguna burnes yang pernah lihat di alam. Di Jawa, bisa dipastikan CR sudah PUNAH! (van Balen 1999) Kalau dibandingkan sama Cekakak Sungai, itu peta Indonesia sudah gak kelihatan, karena ketutup blek sama map marker-nya.

Kucica hutan
Dari 2016 (sejak burnes resmi mengudara) hanya ditemukan 11 kali (tiap catatan maksimal 2 individu)! 5 kali di tahun 2016 (tercatat oleh Mas Untung Sarmawi, Zahrotun Nisaa', Ahmad Yahuan, Gunawan Wongalas, Sandy Kupang, Indeka Darma Putra, Haryadi), 4 kali di 2017 dan hanya 2 kali di 2018. TERJADI PENURUNAN PERJUMPAAN, bisa jadi indikator PUPOLASINYA JUGA MENURUN. Catatan Jawa NIHIL! Apakah individu/ras JAwa sudah punah? Jepson dan Ladle mempublikasikan hasil penelitiannya tahun 2009, dari 6 kota di Jawa-Bali di tahun 2006 setidaknya ada 121 ribu individu burung KH di dalam sangkar, SEPARUH lebih merupakan tangkapan di ALAM! Seratus dua puluh satu ribu! Kebayang gak kayak apa banyaknya? Dan itu 12 tahun yang lalu! Menyusul ras Sumatra antri di halte bus kepunahan. Penyebabnya tidak lain adalah perburuan (Burivalova dkk, 2017).

Jalak Suren
BErdasarkan data dari para pengamat burung melalui Burnes, hanya ditemukan 3 kali (semuanya hanya 1 individu, padahal nature burung ini adalah hidup berkelompok)! Selama 3 tahun terakhir semuanya di tahun 2017! Dari ketiga temuan itu, bisa dipastikan 2 catatan (dari Muara ANgke tercatat oleh Sandy Kupang dan Purwanegara oleh Ari Hidayat) adalah invidu lepasan dari sangkar. Yang dari Purwanegara terekam kamera dan saya pastikan itu ras hybrid (besar kemungkinan terjadi kawin silang dengan ras dari luar Jawa, dan itu hanya bisa terjadi di penangkaran). Hanya 1 catatan yang menyimpan harapan bahwa burung ini masih ada di alam. Perlu jadi perhatian, di Indonesia, Jalak Suren secara alami hanya ada di Jawa dan Sumatera bagian Timur (Lampung). Pernah berlimpah di Lampung tahun 1975-1977, setelah itu tidak pernah dijumpai lagi. Di Jawa-Bali agak mending bertahan sampai 1990an, setelah itu hilang. Sesekali pernah ditemukan tahun 2005-2006 dan 2013 (plus 2017-burnes). Kalaupun masih tersisa, peluang terjadinya inbreeding sangat besar (karena populasi terlalu kecil). Artinya, waktu yang akan menuntaskan nasib mereka di dunia yang fana ini.

Cucak rawa
Apa yang bisa saya sampaikan? Hanya Tuhan yang tahu dimana dia sekarang.

Punah Di Alam dan Membludak Di Penangkaran

Pada titik ini, Saya benar-benar habis akal menemukan logika: kalau berlimpah di penangkaran, meskipun hampir punah di alam maka boleh tidak dilindungi. Saya berupaya mencari, meskipun kecil, pembenaran logika itu. Tapi sepertinya itu sia-sia. Maksud saya begini, kalau memang KLHK ingin mendorong aspek PEMANFAATAN harusnya untuk jenis-jenis yang punya peluang SUSTAINABLE HARVESTING, bukan jenis yang HAMPIR PUNAH!

Atau gampangnya begini saja. Saya pake data dari press release Setkab (2018) tentang jumlah penangkar burung di INdonesia (https://goo.gl/CuW136), karena saya tidak menemukan di Laporan Kinerja KLHK 2017. Bahwa ada 428 penangkar burung di Indonesia. Berapa total invidu dari penangkar sebanyak itu? TIDAK ADA DATA. Yang pasti banyak lah. Nah dari angka-angka itu, pertanyaan saya:

1. Apa yang bisa menjadi jaminan populasi burung CR, KH, dan JS bisa pulih dengan banyaknya individu di penangkaran?
2. Ok, ada ketentuan 10% wajib dilepasliarkan ke alam oleh penangkar. Trus bagaimana tahu 10%nya kalau jumlah individu di penangkaran tidak diketahui pasti? Success breeding, genetik variation, behavior, dll?
3. Anggap saja semua penangkar tertib mau release 10%. Masalahnya, yang direlease itu murni hasil penangkaran atau panen di alam? Siapa yang menjamin mereka tidak ambil dari alam? Untuk mendapatkan turunan juara lomba ocehan piala Presiden dibutuhkan variasi genetik tinggi kan. Dan individu dari alam adalah solusi terbaik.

Akankah Konservasi Harus Selalu Berlawanan Dengan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat??

Saya yakin tidak. Sekeyakinan saya pemain burung ocehan tidak akan terganggu dapurnya meski ada Permen 20.
Memang ada putaran ekonomi yang sangat besar dalam bisnis burung ocehan. Pak Jokowi bilang bahkan bisa mencapai 1,7 T! Mulai dari penjual burungnya, pembuat sangkar, kroto, sampai pemilik channel Youtube burung ocehan. Hanya pejabat gila yang tega menganggu ribuan dapur masyarakatnya yang menggantungkan hidupnya dari bisnis burung ocehan.

Tapi tetap ada saja masalahnya. Bahwa banyak burung yang berputar di pasaran sebagian besar masih dari alam. Nijman dkk (2017) berani memastikan ada 1,2 juta burung tangkapan alam yang diperjualbelikan di Jawa-Bali setiap tahunnya. Japson & Ladle (2005) menghitung ada 600.000-760.000 invidu burung yang ditangkap di alam per tahun. Jika populasi penduduk Jawa 60% dari total Indonesia, maka angka ekstrapolasinya diperkirakan ada 1,4-1,8 juta burung yang diambil dari alam! Hipotesa saya, Laju produksi penangkar tidak mampu meladeni permintaan pasar. Itu sebabnya praktik pemanenan di alam masih marak.

Untuk itu Permen 20/2018 adalah oase yang menyegarkan di tengah krisis over hunting burung di alam. Tapi kok ya trus ndang direvisi? Kan khayal banget ini Bu?

Maksud saya begini Bu. Iya, ada gejolak signifikan dari pelaku bisnis burung ocehan, terutama yang sudah terlanjur ambil kredit rumah, mobil, atau waktunya bayar biaya kuliah anknya. Mereka takut bisnisnya mandek karena burungnya sudah dilindungi. Maka keluarnya Surat Edaran Dirjen KSDAE Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi adalah tindakan paling tepat saat ini.

Bahwa para pemilik burung yang masuk dalam daftar Permen20 tidak akan dikriminalisasi. Bahwa Permen20 TIDAK BERLAKU SURUT. Bu Menteri pasti sudah baca kan surat edarannya? Bahkan tiap UPT diinstruksinya bikin call centre, posko pengaduan, memberikan kemudahan proses pendataan, dan lain sebagainya. Wenak kan? Pemilik burung bisa lanjut bercengkrama dengan peliharaannya. Penangkar dan penjual bisa terus jualan. Penegak hukum di lapangan lebih mantab dalam penertiban perburuan. Pengamat burung bisa bermimpi lihat CR, KH, dan JS di habitat alaminya. Pratik di UPT (KSDA), surat edaran itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisme. Mereka benar-benar tahu bagaimana menyikapi isu ini di lapangan.

Dan sekarang Anda sudah mau MEREVISI Permen 20?
Saya menganggap ini sudah final. Kami merasa kering sudah oase Permen20 di tengah gurun krisis ini. Monggo kalau memang begitu. Tapi setidaknya, sebagai warga negara saya punya hak atas kejelasan, dan KLHK sebagai instansi publik WAJIB menjelaskan: Dasar pertimbangan, termasuk metode dan data rujukan, sehingga CR, KH, dan JS harus dikeluarkan dari daftar satwa dilindungi. Kalau KLHK tidak bisa menjelaskan ini, masa selesai sudah. Dunia konservasi spesies Indonesia kembali gelap gulita.

Sebagai catatan, dalam surat konsep revisi yang Anda tujukan kepada Menko Ekonomi tanggal 31 Agustus 2018 hanya menjelaskan "...mendapat pertimbangan dari Otoritas Keilmuan dalam hal ini LIPI..." That's all!

Maaf Bu, saya agak pesimis dengan LIPI berkaitan dengan data pupolasi. Bahasa jahatnya, Saya yakin LIPI tidak punya data itu. Semua cara saya lakukan untuk "mencuri" datanya LIPI. Nihil, terutama yang bicara tentang populasi. Lalu "pertimbangan" macam apa yang Anda rujuk itu? Ben dikamplengi wong LIPI siap saya. Meskipun bukan data populasi absolut, saya berani sombong hanya Burungnesia yang punya data terkini tentang burung-burung di seluruh Indonesia.

Saya berharap KLHK konsisten dengan keputusan ini. JANGAN ada lagi spesies terancam punah yang jadi tumbal demi kepentingan hobi dan kontes.

Bu Siti Nurbaya yang saya hormati. Tidak ada niat saya sebagai bawahan Anda yang paling bawah ini untuk lancang apalagi menggurui. Sebagai bawahan saya siap menjalankan apa saja yang tertuang dalam Permen20 dan versi revisinya. Surat ini tidak sedang membuka aurat rumah tanggah KLHK. Bisa saja saya bersurat lewat jalan internal institusi. Tapi, saya lebih mengedepankan pembelajaran publik. Semua orang berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami optimis jalan konservasi masih menyisakan harapan masa depan yang lebih baik. Kelestarian hayati untuk kesejahteraan manusia Indonesia adalah harga mati.

Wassalamu'alaikum
Hormat saya
Swiss Winnasis Bagus Prabowo

--------

Rujukan

Chng, S. C. L., Eaton, J. A., Krishnasamy, K., Shepherd, C. R., & Nijman, V. (2015). In the market for extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets.

Eaton, J.A., Shepherd, C.R., Rheindt, F.E., Harris, J.B.C., van Balen, S.(B.), Wilcove, D.S. & Collar, N.J. (2015) Trade-driven extinctions and near-extinctions of avian taxa in Sundaic Indonesia. Forktail 31: 1–12.

Jepson, P. & Ladle, R.J. (2009) Governing bird-keeping in Java and Bali: evidence from a household survey. Oryx 43(3): 364–374.

van Balen, S. (1999) Birds on Fragmented Islands: Persistence in the Forests of Java and Bali. Tropical Resource Management Papers 30. Wageningen University & Research Centre, Wageningen, The Netherlands.

VINCENT NIJMAN, SUCI LISTINA SARI, PENTHAI SIRIWAT, MARIE SIGAUD & K. ANNE!ISOLA NEKARIS. (2017) Records of four Critically Endangered songbirds in the markets of Java suggest domestic trade is a major impediment to their conservation. BirdingASIA 27 (2017): 20–25

Zuzana Burivalova, Tien MingLee, Fangyuan Hua, Janice S.H.Leea, Dewi M.Prawiradilaga, David S.Wilcove. (2017) Understanding consumer preferences and demography in order to reduce theb
 domestic trade in wild-caught bird. Biological Conservation. Volume 209, May 2017, Pages 423-431

https://timurinspirasi.blogspot.com/2018/09/surat-terbuka-swiss-winnasis-kepada.html
Previous Post Next Post