TANA TORAJA - Pengadilan Negeri (PN) Makale merilis penjelasan lengkap mengenai proses panjang eksekusi terhadap objek sengketa Tongkonan Tanete, yang telah dilaksanakan pada Jumat (5/12/2025). Penjelasan itu disampaikan menyusul berbagai narasi di publik yang dianggap tidak menggambarkan keseluruhan fakta hukum, terutama soal lamanya proses, upaya damai, hingga insiden kekerasan yang mewarnai pelaksanaan eksekusi.
Humas PN Makale, Yudhi Satria Bombing, menegaskan bahwa pengadilan menjalankan eksekusi bukan berdasarkan pertimbangan sepihak, melainkan karena adanya putusan hukum yang telah berkekuatan tetap (inkracht) dari seluruh tingkat peradilan, mulai dari Pengadilan Tinggi Makassar, Mahkamah Agung, hingga Peninjauan Kembali (PK).
“Kami perlu meluruskan, supaya masyarakat mendapatkan gambaran utuh. Eksekusi ini adalah perintah hukum, bukan keputusan yang tiba-tiba,” kata Yudhi.
Menurut Yudhi, pihak pengadilan telah menunda eksekusi berulang kali demi memberi ruang bagi mediasi, bahkan sampai melibatkan Bupati Tana Toraja dan Ketua DPRD. Namun seluruh upaya perdamaian itu tidak membuahkan hasil.
“Di beberapa kasus, pengadilan jarang memberi waktu damai sepanjang ini. Tetapi karena objek sengketa adalah rumah adat, kami sangat berhati-hati,” ujarnya.
Enam Tahun Proses Hukum yang Konsisten: Inkracht dari Perkara hingga Perlawanan Pihak Ketiga
Sengketa Tongkonan Tanete bermula dari gugatan perdata Nomor 184/Pdt.G/2019/PN Mak yang didaftarkan pada 17 Oktober 2019 oleh Sarra dkk selaku penggugat. Mereka menggugat pihak tergugat yakni keluarga yang menguasai Tongkonan Tanete beserta lahan-lahan di sekitarnya.
Putusan tingkat pertama pada Mei 2020 sempat menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Namun pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Makassar membatalkan putusan tersebut dan mengabulkan sebagian gugatan. Dalam amar putusan banding itu, objek sengketa—termasuk Tongkonan Tanete—ditetapkan sebagai milik ahli waris Pong Palau, Ullin, Indo’ Bai, dan Lai’ Ita’.
Putusan Pengadilan Tinggi itu kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam kasasi. Pada 2022, pihak tergugat mencoba mencari celah hukum melalui upaya Peninjauan Kembali (PK). Namun Mahkamah Agung kembali menolak permohonan tersebut.
“Dalam empat tingkat peradilan dari PN sampai PK, putusannya konsisten. Objek sengketa jelas dan telah diuji berulang kali,” ujar Yudhi.
Pada 2023, pihak lain kembali mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dengan argumentasi bahwa objek sengketa bukan Tongkonan Tanete, melainkan Tongkonan Ka’pun. Perlawanan itu diproses dalam perkara Nomor 199/Pdt.Bth/2023/PN Mak.
“Dalam putusan tersebut, majelis hakim memeriksa bukti-bukti dan menyimpulkan bahwa tidak ada dasar hukum baru yang membedakan objek sengketa. Apa yang disebut pelawan sebagai Tongkonan Ka’pun adalah objek yang sama dengan Tongkonan Tanete,” jelas Yudhi.
Perlawanan itu ditolak seluruhnya, termasuk gugat balik (rekonvensi). Permohonan banding sempat diajukan, namun dicabut oleh kuasa pelawan sendiri pada 9 Agustus 2024, sehingga putusan menjadi final.
“Dengan demikian, tidak ada lagi jalur hukum lain. Semua selesai,” kata Yudhi.
Upaya Damai Sangat Panjang: Mediasi Formal dan Informal, Namun Selalu Buntu
Proses eksekusi semestinya dapat dilakukan sejak pemohon mengajukan permohonan eksekusi lanjutan pada 2025. Setelah aanmaning (peneguran) dilakukan pada 30 Juli 2025, pihak pengadilan tetap membuka ruang dialog bagi para pihak.
Ketua PN Makale meminta agar pemohon dan termohon berupaya mencapai kesepakatan secara kekeluargaan. Namun karena tidak ada titik temu, pengadilan menjadwalkan eksekusi.
Situasi berubah ketika Bupati Tana Toraja secara resmi meminta waktu tambahan untuk melakukan mediasi. Permintaan itu disampaikan pada 17 Agustus 2025.
“Kami memberi ruang yang sangat luas untuk mediasi. Bupati turun langsung menemui kedua belah pihak. Ketua DPRD juga dilibatkan. Namun tetap tidak ada kesepakatan,” kata Yudhi.
Menurut Yudhi, Bupati bahkan menawarkan opsi pemindahan bangunan secara adat atau pembongkaran adat sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai budaya Toraja. Namun tawaran itu tetap ditolak.
Situasi kembali dinamis ketika seseorang yang mengaku perwakilan keluarga termohon menawarkan memberikan ganti rugi agar eksekusi dibatalkan.
“Karena ada tawaran damai itu, Ketua PN Makale menunda eksekusi yang sebelumnya sudah dijadwalkan. Itu menunjukkan betapa jauhnya pengadilan mencari jalan damai,” jelas Yudhi.
Namun kemudian pihak termohon resmi menyampaikan bahwa penawaran ganti rugi itu bukan dari keluarga mereka. Dengan demikian, pemohon eksekusi kembali meminta agar eksekusi tetap dijalankan.
“Setelah itu, tidak ada lagi opsi damai. Pengadilan harus menjalankan putusan,” tegasnya.
Serangan Dini Hari Menggagalkan Eksekusi 4 Desember 2025
Eksekusi dijadwalkan pada Kamis, 4 Desember 2025. Pihak Polres Tana Toraja, Polres Toraja Utara, Brimob Batalyon B Parepare, Kodim 1414, Satpol PP, serta instansi lain telah siap melakukan pengamanan. Namun sebelum subuh, suasana berubah.
“Aparat kepolisian yang berjaga diserang dengan panah dan bom molotov oleh orang tak dikenal. Excavator milik pemohon yang disiapkan untuk pekerjaan teknis juga dibakar,” kata Yudhi.
Serangan terjadi sekitar dini hari dan menciptakan situasi yang dianggap tidak memungkinkan bagi pengadilan untuk melakukan eksekusi secara aman.
“Karena alat berat terbakar, pemohon harus mencari alat pengganti. Selain itu, keselamatan petugas menjadi pertimbangan utama,” tambahnya.
Eksekusi 5 Desember 2025: Blokade, Asap Pembakaran, Pelemparan Batu dan Petasan
Setelah alat pengganti tiba dan situasi dinilai terkendali, eksekusi dilanjutkan pada 5 Desember 2025. Namun perlawanan terjadi lagi.
Massa melakukan blokade jalan menuju lokasi menggunakan batang pohon yang ditebang melintang, ban bekas yang dibakar, dan rintangan lainnya. Saat aparat mulai mengevakuasi penghalang, mereka mendapatkan lemparan batu, petasan, bahkan bom molotov.
“Situasi cukup panas, tetapi pengamanan harus dilakukan agar tidak menimbulkan korban jiwa,” kata Yudhi.
Tim eksekusi dibantu oleh personel gabungan dari berbagai instansi. Dinas Kesehatan menyiagakan tenaga medis, sementara pemadam kebakaran membantu memadamkan titik api akibat pembakaran.
Setelah beberapa jam menghadapi perlawanan, Tim Eksekusi berhasil mengendalikan situasi dan melaksanakan pengosongan objek sengketa.
“Eksekusi tuntas dilaksanakan sesuai amar putusan. Semua langkah dilakukan sesuai aturan,” tegas Yudhi.
Pengadilan Luruskan Narasi yang Menyimpang
Pascainsiden, berbagai informasi beredar di media sosial. Ada yang menyebut pengadilan memaksakan eksekusi, tidak memperhatikan adat, atau tidak memberi ruang bagi termohon.
“Kami harus luruskan. Pengadilan justru sangat hati-hati dan berkali-kali menunda demi mengupayakan damai,” ujar Yudhi.
Menurutnya, aspek adat memang penting, tetapi dalam konteks sengketa, putusan hukum tetap harus dihormati.
“Adat dan hukum tidak bertentangan. Justru penghormatan terhadap adat tercermin dari upaya mediasi panjang, termasuk opsi adat yang sempat ditawarkan,” katanya.
Keamanan Menjadi Prioritas Utama
Yudhi menegaskan bahwa pengamanan bukan dilakukan untuk mengintimidasi masyarakat, melainkan untuk memastikan eksekusi berjalan tanpa korban.
“Eksekusi adalah tahap akhir yang harus dijalankan. Namun keselamatan warga, aparat, dan pihak terkait tetap prioritas,” ujarnya.
Dalam eksekusi berskala besar seperti ini, pelibatan berbagai unsur keamanan dianggap wajar.
Harapan Pengadilan: Hormati Putusan, Jaga Keamanan, dan Pulihkan Hubungan Sosial
PN Makale berharap masyarakat dapat memahami posisi pengadilan yang hanya menjalankan amanat putusan inkracht.
“Kami tidak berpihak kepada siapa pun. Pihak yang menang perkara tentu mendapatkan haknya. Pihak yang kalah juga telah menempuh semua jalur hukum,” ujar Yudhi.
Ia mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi dan menahan diri agar situasi tetap kondusif.
“Kami memahami bahwa isu tanah dan tongkonan sangat sensitif di Toraja. Namun setelah proses hukum selesai, rekonsiliasi sosial harus diutamakan.”
Analisis Sosial: Luka Budaya dan Tantangan Rekonsiliasi
Peristiwa ini menimbulkan dampak sosial yang lebih luas. Bagi sebagian warga, Tongkonan adalah simbol leluhur. Kehilangannya meninggalkan luka emosional.
Di sisi lain, bagi ahli waris yang memenangkan perkara, eksekusi adalah bentuk keadilan setelah bertahun-tahun mencari kepastian hukum.
Karena itu, para tokoh adat dan pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil peran dalam menjaga keharmonisan masyarakat pasca-eksekusi.
“Pengadilan menyelesaikan aspek hukum. Aspek sosial adalah tugas kita bersama,” kata Yudhi.
