LUWU TIMUR - Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Luwu Timur menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Senin (20/10/2025). Mereka menuntut transparansi pemerintah daerah dalam sejumlah kebijakan, terutama terkait rencana pembangunan kawasan industri pertambangan di Desa Harapan, Kecamatan Malili.
Dalam aksinya, warga mendesak DPRD menggunakan hak angket
untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam
proses pembangunan kawasan industri tersebut. Mereka menilai proyek yang
melibatkan perusahaan asal luar
negeri dilakukan
tanpa keterlibatan masyarakat dan legislatif daerah.
Koordinator aksi, Suparjo, mengatakan sejumlah kebijakan
pemerintah daerah dalam proyek tersebut menimbulkan tanda tanya besar dan
memicu kemarahan warga. Salah satunya terkait penetapan kompensasi lahan seluas
sekitar 394,5 hektare
milik PT Vale Indonesia yang diserahkan
ke pemerintah daerah dengan status APL lalu diklaim oleh Pemda sebagai aset
daerah yang dipersewakan kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).
“Ada beberapa hal yang kami pertanyakan terkait kebijakan
pemerintah, terutama mengenai kawasan industri di Desa Harapan, yang dikenal
juga sebagai Lampia. Kompensasi lahan sekitar 394,5 hektare telah ditandatangani oleh bupati
tanpa melibatkan masyarakat maupun DPRD,” ujar Suparjo di lokasi aksi.
Menurut Suparjo, penetapan nilai kompensasi oleh
pemerintah daerah dilakukan sepihak dengan nilai yang dinilai sangat rendah,
yakni sekitar Rp5 miliar per tahun selama lima tahun, atau sekitar Rp226 per
meter per tahun.
“Bayangkan, hanya Rp226 per meter per tahun. Itu sangat
murah dan tidak masuk akal. Kami ingin tahu dasar perhitungannya seperti apa,
karena seharusnya ada lembaga resmi yang menetapkan harga lahan,” tambahnya.
Selain persoalan investasi, warga juga mengeluhkan bahwa
area yang direncanakan sebagai kawasan industri sebenarnya sudah lama dihuni
masyarakat yang menggantungkan hidup dari pertanian dan perkebunan.
“Banyak warga yang sudah tinggal dan berkebun di sana
selama bertahun-tahun. Mereka menanam lada, cokelat, dan sawit. Jika kawasan
ini dijadikan industri, mereka kehilangan sumber penghidupan,” tutur Suparjo.
Desak
DPRD Jalankan Fungsi Pengawasan
Aliansi juga menyoroti adanya dugaan pergeseran anggaran
daerah yang disebut dilakukan tanpa pembahasan bersama DPRD. Mereka menilai,
praktik seperti ini menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan legislatif terhadap
pemerintah kabupaten.
“Sebagian besar pergeseran anggaran tidak dibicarakan
dengan DPRD. Padahal, DPRD seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam setiap kebijakan pemerintah,” ucap Suparjo.
Tuntut
Pendampingan untuk Kelompok Tani Sawit
Selain isu industri, massa juga meminta DPRD untuk
mendampingi delapan kelompok tani kelapa sawit yang telah mendapat persetujuan
pembangunan sarana dan prasarana dari Kementerian Pertanian. Mereka menolak
rencana pemerintah daerah mengganti kelompok penerima bantuan dengan pihak
lain.
“Dana pembangunan itu bukan dari APBD, tapi dari tabungan
masyarakat petani sawit di Indonesia. Sangat tidak pantas kalau kelompok
penerimanya diganti begitu saja,” kata Suparjo.
Aksi yang berlangsung di depan Gedung DPRD Luwu Timur itu
berlangsung damai. Sejumlah pengunjuk rasa membentangkan spanduk dan poster
bergambar karakter anime One Piece, sebagai simbol perjuangan melawan
ketidakadilan dan ketimpangan kebijakan pemerintah daerah.
Ketua DPRD Luwu Timur, Ober Datte, menyampaikan apresiasi
terhadap aspirasi warga dan berjanji akan menindaklanjuti tuntutan tersebut
melalui rapat bersama pemerintah kabupaten.
“Kami akan menindaklanjuti aspirasi masyarakat ini dengan
menggelar rapat bersama Pemerintah Kabupaten Luwu Timur untuk membahas seluruh
poin tuntutan yang disampaikan,” ujar Ober Datte.
Ober juga memastikan DPRD akan mempelajari dokumen dan
dasar hukum terkait rencana pembangunan kawasan industri pertambangan di Desa
Harapan.
“Setelah kami rapatkan,
kami akan menemui pemerintah kabupaten Luwu Timur, agar masalah ini selesai,”
harapnya.
