PALOPO – Di ruang tunggu Pengadilan Negeri
Palopo, Sulawesi Selatan, suasana siang itu terasa tegang namun penuh harap.
Dari balik kaca ruang sidang, terdengar samar-samar teriakan massa mahasiswa
yang menggelar aksi di halaman depan. Sementara di dalam, seorang perempuan
muda tampak duduk tenang, memeluk erat anak balitanya.
Ia adalah Febi Melati (22) istri dari Muhammad Anugrah,
seorang terdakwa kasus demonstrasi di DPRD Kota Palopo yang kini tengah
menunggu kepastian hukum.
Sudah lebih dari sebulan suaminya mendekam di tahanan,
dan hari ini, ia datang hanya untuk mendengar secercah kabar.
“Anakku baru satu tahun. Dia sering tanya mana bapaknya.
Kadang kalau lihat foto, dia peluk sambil panggil ‘ayah’,” kata Febi pelan, di
sela isak yang ia tahan.
Suami Ditangkap Tanpa Penjelasan
Febi masih mengingat jelas malam penangkapan itu. Malam yang mengubah hidupnya.
“Sekitar jam sebelas malam, tanggal 1 September. Polisi
datang dua mobil ke rumah,” kenangnya. “Mereka bilang cari suamiku. Saya tidak
tahu kasus apa,” ucapnya lirih.
Petugas meminta Febi menghubungi suaminya agar mau
pulang. Salah satu dari mereka bahkan menyarankan agar ia beralasan bahwa anak
mereka sakit.
“Saya hubungi suamiku, tapi polisi seperti tidak percaya.
Mereka periksa HP-ku, keliling cari dia,” ujar Febi.
Hingga akhirnya, seorang polisi yang ia sebut bernama
Riko menelepon langsung suaminya. Dengan nada halus, polisi itu memintanya
bertemu.
“Dia bilang, ‘bisa ketemu sebentar dek, mau bicara
baik-baik’. Suamiku akhirnya muncul di depan Masjid Adda’wah, samping lapangan
Kodim,” tutur Febi.
Namun pertemuan itu menjadi yang terakhir. Setelah
berbicara sebentar, suaminya langsung dibawa masuk ke mobil polisi.
“Saya diantar pulang. Suamiku dibawa ke Polres. Sampai
sekarang saya tidak tahu kasus apa,” imbuhnya.
Febi mengatakan, surat penangkapan baru diberikan dua
hari kemudian, setelah suaminya dua malam berada di tahanan.
“Saya tanya ke polisi berkali-kali, tapi tidak ada yang
mau jawab,” katanya lirih.
Rindu Anak, Harapan yang Tak Padam
Sejak malam itu, rumah Febi terasa sepi. Suaminya, yang sebelumnya bekerja sebagai honorer di Dukcapil Walmas, adalah satu-satunya penopang keluarga.
“Sekarang saya kerja di salon. Hasilnya tidak banyak,
tapi cukup buat beli susu anak,” ungkapnya.
Bagi Febi, beban terberat bukan hanya menanggung ekonomi,
tapi juga menjawab kerinduan anaknya.
“Anakku sempat sakit karena rindu. Dia biasa lihat
bapaknya tiap hari,” ujarnya sambil memeluk erat sang anak.
Selama proses hukum berjalan, ia hanya dua kali diberi
kesempatan menjenguk.
“Cuma dua kali saya lihat dia, bawa anak sekalian. Hari
ini mau bawa lagi,” ucapnya.
Solidaritas di Depan Pengadilan
Sementara Febi menunggu di ruang tunggu, di luar gedung Pengadilan Negeri Palopo, puluhan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa. Mereka tergabung dalam Aliansi Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Palopo, yang menuntut keadilan bagi dua rekannya yakni Fangki dan Muhammad Anugrah.
Aksi itu berlangsung pada Selasa (14/10/2025) siang.
Massa membakar ban bekas di depan kantor pengadilan, membentangkan spanduk
bertuliskan “Keadilan untuk Fangki dan Anugrah”, serta menyerukan kritik
terhadap proses hukum yang dinilai tidak transparan.
“Aksi hari ini bentuk solidaritas kami. Kami menilai
penetapan tersangka cacat prosedural dan tidak memenuhi unsur keadilan,” terang
Juand, jenderal lapangan aksi.
Menurutnya, sejak proses penangkapan hingga penyelidikan,
pihak keluarga tidak pernah menerima surat resmi tentang perintah penangkapan
maupun penetapan tersangka.
“Kami hadir untuk mengawal jalannya sidang praperadilan.
Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan,” tegasnya.
Dua Permohonan Praperadilan Ditolak
Dari dalam ruang sidang, kabar yang ditunggu akhirnya datang, meski tidak sesuai harapan.
Hakim Pengadilan Negeri Palopo, Helka Rerung, membenarkan
bahwa dua perkara praperadilan atas nama Fangki dan Muhammad Anugrah telah
diputus pada Selasa pagi.
“PN Palopo menerima dua perkara praperadilan, yakni
perkara nomor 5 atas nama Fangki dan perkara nomor 4 atas nama Muhammad
Anugrah. Hasilnya, kedua permohonan itu ditolak,” jelas Helka.
Menurutnya, majelis hakim telah membacakan putusan pada
pukul 10.00 Wita, dan pihak pemohon maupun termohon dapat membaca langsung
pertimbangan putusan setelah resmi diserahkan.
Perjuangan Belum Selesai
Di luar pengadilan, teriakan mahasiswa semakin keras ketika kabar penolakan praperadilan tersebar. Juand, bersama rekan-rekannya, menegaskan bahwa perjuangan mereka belum berakhir.
“Kami akan terus mengawal. Ini bukan hanya soal dua
orang, tapi soal bagaimana hukum ditegakkan secara adil. Kami melihat ada
indikasi diskriminasi hukum terhadap dua rekan kami,” ujar Juand.
Aksi serupa, kata Juand, akan terus dilakukan hingga ada
kejelasan hukum dan rasa keadilan yang benar-benar ditegakkan.
Diantara Harapan dan Ketidakpastian
Siang itu, massa perlahan membubarkan diri. Namun di dalam gedung, Febi masih duduk di kursinya, memeluk anaknya yang mulai terlelap di pangkuan.
Ia tidak ikut berteriak seperti mahasiswa di luar. Tapi
dalam diamnya, ia menyimpan bentuk perjuangan yang sama, menuntut keadilan untuk suaminya, untuk
keluarganya, dan untuk masa depan anaknya.
“Saya cuma mau keadilan. Semoga suamiku cepat bebas,”
ucapnya dengan suara hampir berbisik meneteskan air mata.
Di tengah panasnya aspal halaman pengadilan yang baru
saja dipenuhi api ban bekas, dan di antara berkas-berkas hukum yang menumpuk di
ruang sidang, suara Febi mungkin terdengar paling pelan. Tapi justru dari
sanalah, wajah paling manusiawi dari keadilan itu tampak, seorang istri muda
yang tetap menunggu, tanpa pernah kehilangan harap.