Syafruddin Jalal (Penggiat Demokrasi dan praktisi hukum Palopo) |
Dugaan penggunaan 'ijazah palsu' dalam Pilkada Kota Palopo 2024 menimbulkan ancaman serius bagi keadilan dan kredibilitas pemilu. Bawaslu Palopo telah merekomendasikan diskualifikasi pasangan calon Trisal Ahmad karena dinilai menggunakan ijazah tidak sah, namun KPU Palopo menolak menindaklanjuti rekomendasi ini dengan berlandaskan pada Pasal 133 PKPU Nomor 8 Tahun 2024.
Merujuk pada ketentuan tersebut, KPU berdalih bahwa kasus ini bukan ranah mereka karena Pasal 133 mengatur tentang keberatan terkait ijazah palsu dari calon atau masyarakat, bukan dari rekomendasi Bawaslu. Langkah KPU ini menimbulkan risiko besar, yang dapat berdampak serius pada hasil akhir dan integritas pemilu di Palopo.
Keputusan KPU Palopo untuk tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu berisiko menciptakan kerumitan hukum yang sulit dipulihkan di kemudian hari. Jika calon yang menggunakan ijazah palsu dibiarkan bertahan sebagai kontestan dan kemudian dinyatakan menang, maka hasil Pilkada tersebut akan berpotensi menjadi objek sengketa serius di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam beberapa tahun terakhir, MK telah menunjukkan keterbukaan untuk mengadili kasus yang tidak hanya melibatkan hasil akhir pemilu, tetapi juga proses yang memengaruhi hasil.
Yurisprudensi MK tentang Pelanggaran TSM yang Mempengaruhi Hasil
MK telah menegaskan dalam beberapa putusannya bahwa pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dapat menjadi alasan bagi pengadilan untuk membatalkan atau mengulang tahapan Pilkada, bukan hanya hasil akhirnya.
Misalnya, dalam Pilkada Sabu Raijua (2020), MK memutuskan bahwa pemilihan harus diulang karena calon yang terpilih menggunakan kewarganegaraan ganda, yang dianggap pelanggaran serius dan fundamental terhadap syarat pencalonan. Pada kasus ini, MK membatalkan hasil pemilu dan memerintahkan pengulangan pemilihan.
Bila MK menerapkan pendekatan serupa pada kasus ijazah palsu di Palopo, maka ada potensi MK untuk memerintahkan pengulangan Pilkada jika terbukti bahwa pelanggaran administrasi (seperti penggunaan ijazah palsu) memengaruhi hak dasar pemilih untuk memilih kandidat yang benar-benar memenuhi syarat. Dalam konteks ini, MK tidak lagi hanya mengadili hasil akhir Pilkada, tetapi juga seluruh prosesnya, demi menjaga keadilan pemilih.
Potensi Pengulangan Tahapan Pilkada Palopo
Dengan fakta bahwa rekomendasi diskualifikasi dari Bawaslu tidak dijalankan oleh KPU, dan jika ternyata terbukti bahwa pasangan calon menggunakan ijazah palsu, ada kemungkinan MK akan memerintahkan pengulangan tahapan tertentu atau bahkan seluruh tahapan Pilkada.
Misalnya, MK bisa memerintahkan pengulangan tahapan pencalonan saja, yang akan mengharuskan KPU untuk menyeleksi ulang kandidat yang memenuhi syarat dan mendiskualifikasi yang tidak.
Namun, jika MK menilai bahwa pelanggaran ini memengaruhi keabsahan hasil keseluruhan, maka pengulangan pemungutan suara bisa saja diperintahkan.
Membiarkan calon yang menggunakan ijazah palsu tetap sebagai kontestan jelas berisiko membawa Pilkada Palopo ke arah yang tidak diinginkan, dengan pengulangan tahapan yang menguras waktu dan anggaran negara. Mengacu pada yurisprudensi MK, tindakan yang tidak tegas dalam menindak pelanggaran administrasi dapat mencederai demokrasi dan kepercayaan publik.
Kesimpulan:
Pilkada adalah sarana untuk memilih pemimpin yang sah secara hukum dan demokratis. Penggunaan ijazah palsu bukan sekadar pelanggaran administratif; ini adalah ancaman langsung terhadap kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu. Jika KPU Palopo tidak segera menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, maka risiko Pilkada diulang atau hasilnya dibatalkan adalah nyata. Kita berharap KPU Palopo segera mengambil langkah tegas, demi mempertahankan integritas pemilu yang menjadi harapan masyarakat Palopo. (*)