Filosofi Tiang Tengah Masjid Jami Palopo yang Terbuat dari Pohon Cina Duri

  


PALOPO - Masjid Jami Tua yang terletak di jantung Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dibangun sejak tahun 1604 setahun setelah Islam masuk di jazirah Sulawesi tepatnya di Bua, Luwu tahun 1603 masehi, saat itu istana kerajaan Luwu berpusat di Palopo.

 

 

Berdirinya Masjid Jami Tua Palopo tidak lepas dari pengaruh kedatuan atau kerajaan Luwu pada masa Datu Luwu ke-15 yakni La Patiware’.  

 

Bangunan Masjid Jami Tua Palopo memiliki unsur penting yang melekat dalam konstruksi masjid yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, bahkan Tionghoa  sehingga akulturasi budaya yang melekat pada ornamen masjid kental dengan beberapa daerah seperti  atap rumah Joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga dan kenampakan dari beberapa ornamen masjid yang nampak dari depan menyerupai bangunan Tionghoa.

 

 

Bangunan inti yang dianggap paling sakral dan memiliki nilai histori serta magis pada Masjid Jami Tua Palopo adalah tiang utama masjid yang terbuat dari batang kayu Cina Duri. 

 

Pihak istana Kedatuan Luwu atau pemangku adat Maddika Bua, Andi Syaifuddin Kaddiraja mengatakan keyakinan masyarakat tradisional Kedatuan Luwu jaman dulu, selalu meyakini adanya Posi’ atau pusat, makanya dalam setiap rumah ada namanya Posi’ Bola (tiang tengah rumah).

 

“Jadi orang dulu selalu membuat suatu do’a-do’a di Posi’ Bola (tiang tengah) rumah,” kata Andi Syaifuddin, saat dikonfirmasi, Rabu (12/4/2023).

 

Lanjut Andi Syaifuddin, setelah Datu Luwu menerima Islam sebagai keyakinan masyarakat Kedatuan Luwu, maka dibangunlah Masjid Jami.

 

Tiang utama masjid atau Posi’ ini terbuat dari kayu Cina Duri bersegi 12 yang menandakan bahwa di Luwu atau Palopo memiliki jumlah anak suku sebanyak 12  atau dengan kata lain pada masa pembuatan masjid seluruh anak suku tersebut hadir memberikan sumbangsih  baik pemikiran maupun pekerjaan fisik,  antara satu tiang dengan tiang lainnya disambung dengan menggunakan pasak kayu sehingga saling melengkapi dan melekat kuat.

 

Tiang utama ini berdiameter 90 sentimeter dengan tinggi 8,5 meter  dan dilengkapi empat tiang penyangga.

 

“Dibangunnya Masjid Jami maka diperintahkanlah bahwa Posi’ masjid jami harus besar, dengan kata lain bahwa setelah keyakinan berada di setiap Posi’ bola maka diputuskan Posi’ yang sesungguhnya berada di Masjid atau Masjid Jami yang dibangun saat itu, petinggi-petinggi istana Kedatuan Luwu pada masa itu membuat suatu cerita bahwa Posi’ Masjid Jami dibuat dari kayu Cina Duri, maka tidak ada lagi Posi’ yang lebih besar  dari pada Posi’  masjid Jami, sehingga kayu Cina Duri itu dikutuk oleh pihak istana supaya tidak besar, tidak boleh lagi besar, sehingga tumbuhan yang namanya pohon Cina Duri sekarang menjadi kerdil, apakah itu cerita sesungguhnya atau tidak, tapi ini salah satu trik bagaimana supaya keyakinan berpusat ke Posi’ bola pindah ke Posi’ masjid jami sehingga semua orang harus mengarah ke masjid, dengan kata lain beginilah cara kedatuan Luwu mengislamkan masyarakat Luwu pada masa itu ” ucap Andi Syaifuddin.

 

Disisi lain, dinding Masjid Jami Tua Palopo terbuat dari batu alam, pada masa kerajaan, batu tersebut diambil dari pegunungan dan dipahat oleh pemahat batu yang diperkirakan berasal dari daerah Toraja yang memang selama ini dikenal sebagai pemahat batu. 

 

Ukuran batu dinding ini tidak seragam, namun terpasang dengan teratur, hal ini menandakan sebagai simbol untuk merekatkan perbedaan.

 

Pihak istana Kedatuan Luwu atau pemangku adat Maddika Bua, Andi Syaifuddin Kaddiraja mengatakan di Sulawesi Selatan, etnis yang pandai memahat batu adalah dari Toraja.

 

“Etnis yang pandai memahat batu adalah Toraja, namun kita belum bisa pastikan jika etnis Toraja yang pahat, tetapi ada kecenderungan jika itu adalah etnis Toraja,” ujar Andi Syaifuddin.

    

Menurut  Andi Syaifuddin, bahwa memahat batu seperti yang ada pada dinding Masjid Jami Tua Palopo jika dilihat dari motif bangunannya itu adalah mirip dengan motif masjid Demak.

 

“Kenapa motif Demak? Karena sebenarnya ada 3 mubaligh yang datang di Sulawesi untuk menyebarkan Islam asal Minangkabau, Sumatra Barat yang berlabuh di Luwu, saat ini bernama Muara  Dusun Muladimeng, Desa Pabbaresseng, Kecamatan Bua yang dikenal dengan Monumen La Pandoso, ketiganya yakni Datok Sulaiman  atau biasa disebut Datok Patimang juga bergelar Khatib Sulung, kemudian Abdul Makmur atau  Datok Ri Bandang dengan gelar Khatib Tunggal dan  Abdul Jawad  atau Datok Di Tiro bergelar Khatib Bungsu, ketiganya adalah murid dari Sunan Kalijaga,” ucap Andi Syaifuddin.   

 

Previous Post Next Post