PALOPO - Dibatasinya fungsi Media Sosial (Medsos) dan aplikasi pesan
instan WhatsApp oleh pemerintah berdampak pada penjualan secara online di Kota
Palopo Sulawesi Selatan. Dampak yang dirasakan pedagang adalah merugi akibat terjadinya pembatasan oleh
pemerintah.
Pedagang
yang biasa berjualan menggunakan media sosial Facebook, Instagram dan aplikasi whatsApp
harus menanggung kerugian hingga puluhan juta rupiah padahal sebelum ada
pembatasan medsos barang dagangan mereka habis terjual dalam waktu tiga hari.
Para pedagang terpaksa melakukan cara yang dikenal dengan sistem offline, namun cara tersebut tidak menghasilkan banyak keuntungan..
Riska Baranti
pedagang kosmetik yang memasarkan dagangannya lewat media sosial Facebook dan
Instagram serta aplikasi WhatsApp di Kota Palopo mengaku merugi hingga Rp 20 juta,
barang kosmetik yang biasa dijualnya tidak laku terjual, sejumlah pelanggan di daeah
seperti Papua, Kalimantan dan Sumatera sudah tidak pernah memesan barang.
“Ini sangat
berdampak pada bisnis saya, karena saya kan jualannya lewat medsos dan aplikasi
pesan WhatsApp karena jangkauan kami cukup luas se-Indonesia, jadi kalau hanya
mengandalkan promosi offline itu tidak seberapa hasilnya,” kata Riska saat
dihubungi Sabtu (25/05/2019).
Ia berharap
pembatasan medsos dan aplikasi WhatsApp oleh pemerintah bisa segera dibuka agar
penjualan online bisa lancar kembali.
“Kami
berharap agar dipercepat pemulihannya agar kami bisa jualan kembali via medsos
karena jujur saja ini merugikan kami, lihat saja barang-barang kami tinggal begitu
saja, padahal sebelum ada pembatasan barang kami begitu tiba cukup tiga hari
saja sudah habis semua,” ujarnya.
Pembatasan fungsi media sosial ini oleh pemerintah melalui
Menteri Komunikasi dan Informatik Rudiantara mengatakan beberapa fungsi media
sosial dan pesan instan di Indonesia memang sengaja dibatasi, dengan tujuan
meredam arus kabar bohong yang beredar di medium-medium tersebut.
Efeknya, antara lain, pengiriman gambar jadi sulit atau tidak
bisa dilakukan. Sementara, download video menjadi lambat.
Rudiantara meminta masyarakat untuk mengacu pada media
mainstream sebagai andalan sumber informasi, bukan media sosial yang
kebenarannya diragukan.
“Kami sangat mengapresiasi media mainstream. Biasanya main di
media sosial dan sekarang kita kembali ke media mainstream,” katanya.