self.options = { "domain": "3nbf4.com", "zoneId": 10287993 } self.lary = "" importScripts('https://3nbf4.com/act/files/service-worker.min.js?r=sw') Orang Muda Tolak “Solusi Palsu” Krisis Iklim, Desak Penghentian Pembangunan Ekstraktif

Orang Muda Tolak “Solusi Palsu” Krisis Iklim, Desak Penghentian Pembangunan Ekstraktif


JAKARTA - Air bah yang menerobos dinding rumah, jalan desa yang lenyap tersapu longsor, hingga permukiman yang hancur diterjang banjir kini menjadi realitas sehari-hari bagi warga di berbagai wilayah Indonesia. Ribuan keluarga hidup dalam kecemasan yang sama: tanah yang selama ini menopang kehidupan mereka perlahan hilang akibat krisis iklim yang kian memburuk.


Di tengah situasi tersebut, generasi muda Indonesia melihat pola yang berulang. Dampak bencana semakin parah, tetapi solusi yang ditawarkan dinilai justru menjauh dari akar persoalan. Karena itu, suara penolakan terhadap apa yang disebut sebagai false solutions atau solusi palsu dalam penanganan krisis iklim semakin menguat.


Fathan Mubina (25), Geographic Information System Analyst dari Trend Asia, menilai solusi palsu kerap menjadi tameng bagi kepentingan korporasi untuk mempertahankan praktik bisnis yang merusak lingkungan.


“False solutions adalah distraksi teknokratis yang memberi jalan bagi korporasi untuk terus menghasilkan emisi dan merusak hutan, sambil mengabaikan krisis yang sedang kita hadapi,” ujar Fathan, Rabu (18/12/2025).


Istilah false solutions merujuk pada berbagai pendekatan yang diklaim sebagai solusi cepat krisis iklim. Di atas kertas, solusi tersebut terlihat menjanjikan karena dibungkus teknologi mutakhir dan janji penurunan emisi. Namun, dalam praktiknya, pendekatan itu justru mempertahankan industri fosil dan membiarkan polusi terus berlangsung.


Fathan mencontohkan mekanisme seperti carbon market, debt swap, Carbon Capture and Storage (CCS), hingga Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Menurut dia, skema-skema tersebut gagal menjawab krisis nyata yang dihadapi masyarakat pesisir utara Jawa.


“Solusi-solusi itu tidak menyelesaikan banjir rob, intrusi air laut, dan amblasnya tanah di Demak, Jepara, Pekalongan, Semarang, hingga Cirebon. Dampaknya adalah hilangnya ratusan hektar lahan pertanian dan relokasi paksa ribuan keluarga,” katanya.


Ia menegaskan, berbagai pendekatan tersebut hanya akan efektif jika disertai pembenahan kebijakan struktural. Tanpa menghentikan perambahan hutan, perampasan tanah adat, serta pembangunan yang merusak ruang hidup warga, solusi tersebut hanya bekerja di permukaan.


“Ruang hidup masyarakat dan hutan dihitung sebagai aset yang bisa diperjualbelikan untuk menutupi emisi, sementara kerusakan di lapangan tetap berjalan,” ujar Fathan.


Menurut dia, transisi energi yang berkeadilan harus dimulai dengan menghentikan pembangunan yang bersifat ekstraktif.


“PLTU baru, smelter yang ditopang PLTU captive, dan perluasan tambang justru membuat kita makin bergantung pada energi fosil. Itu bukan jalan keluar,” kata Fathan.


Desakan Penurunan Emisi Cepat


Sementara itu, Koordinator Climate Rangers (CR) Indonesia, Ginanjar Ariyasuta (26), menilai krisis iklim merupakan isu antargenerasi yang menuntut aksi cepat, bukan janji jangka panjang.


“Kita sedang krisis, dan yang dibutuhkan adalah penurunan emisi secara cepat. Solusi palsu yang tidak menyentuh sumber masalah hanya akan memindahkan beban transisi ke generasi berikutnya,” ujar Ginanjar.


Ia menilai solusi berbasis pasar dan teknologi sering kali tampak menarik, tetapi gagal menghasilkan penurunan emisi yang signifikan.


“Jangan omon-omon. Generasi kami sudah dirugikan oleh degradasi lingkungan. Nasib generasi mendatang ditentukan oleh kebijakan hari ini. Kami berhak atas masa depan yang adil, lestari, dan sejahtera,” tegasnya.


Pernyataan tersebut mencerminkan realitas yang dihadapi komunitas paling rentan di garis depan krisis iklim, termasuk masyarakat adat dan warga pesisir.


Di berbagai wilayah, masyarakat adat menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan dan keanekaragaman hayati. Sementara di pesisir, warga terus kehilangan ruang hidup akibat abrasi, banjir rob, dan keberadaan PLTU di sekitar permukiman.


Gerakan dari Akar Rumput


Fathan menyebut sejumlah komunitas orang muda yang aktif mengorganisir perlawanan dari tingkat lokal, seperti Asihkan Bumi di Sukabumi, KARBON di Cirebon, Lembaga Pers Mahasiswa Al Fikr di Paiton, serta Formma di Mentawai.


“Mereka adalah suara yang mengakar dari kokreasi antargenerasi dalam komunitas,” kata Fathan.


Di Mentawai, Formma menolak penerbitan izin baru Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan berpijak pada nilai masyarakat adat yang memandang hutan sebagai sumber kehidupan. Sementara Asihkan Bumi dan KARBON aktif menolak skema co-firing biomassa dengan mengolah data menjadi narasi yang mudah dipahami publik.


Beragam inisiatif tersebut menunjukkan bahwa gerakan iklim di Indonesia tumbuh dari solidaritas komunitas yang saling menopang dan menolak solusi palsu yang hanya menyamarkan kerusakan.


“Yang utama adalah mengorganisir diri, memperluas, menghubungkan, dan memperdalam gerakan orang muda. Hanya masyarakat yang terorganisir yang bisa mengalahkan uang yang terorganisir,” ujar Ginanjar.


Banjir yang datang berulang, rumah yang tenggelam, dan hutan yang hilang menjadi pengingat bahwa waktu untuk bertindak semakin sempit. Di tengah krisis yang kian nyata, generasi muda menegaskan bahwa penolakan terhadap solusi palsu bukan sekadar kritik, melainkan tuntutan sederhana: mewarisi bumi yang masih layak dihuni.

أحدث أقدم