PALOPO – Di usia senja mereka, harapan untuk menyempurnakan rukun Islam kelima itu akhirnya menemui titik terang. Empat calon jemaah haji lanjut usia (lansia) di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, menjadi prioritas utama untuk diberangkatkan ke Tanah Suci pada musim haji tahun 2026.
Kisah penantian panjang mereka menjadi cerminan perjuangan ribuan calon jemaah haji di seluruh Indonesia, sekaligus ironi di tengah maraknya kasus korupsi yang menggerogoti sistem kuota haji nasional.
Keempat jemaah tersebut adalah Mamma Karombang (94), Nabong (87), Sanatang (87), dan Andi Zainuddin (86). Mereka termasuk dalam 82 calon jemaah yang telah diverifikasi dan dinyatakan memenuhi syarat administratif untuk keberangkatan dua tahun mendatang.
“Mereka berempat adalah prioritas kami karena faktor usia. Saat ini kami masih terus memverifikasi data. Dari total kuota yang ada, baru sekitar 80 persen yang selesai, di mana kuota normal untuk Palopo biasanya 102 orang,” jelas Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Kota Palopo, Sirajuddin, Jumat (22/8/2025).
Antrean 23 Tahun dan Celah Korupsi
Kabar prioritas bagi jemaah lansia ini membawa kelegaan, namun sekaligus menyoroti masalah fundamental dalam penyelenggaraan haji di Indonesia: antrean yang tak kunjung usai.
Sirajuddin mengungkapkan, daftar tunggu calon jemaah haji di Kota Palopo kini telah mencapai 2.300 orang. Dengan kuota tahunan yang hanya 102 orang, seorang calon jemaah harus rela menunggu hingga 23 tahun untuk bisa melihat Ka'bah.
“Kuota haji dari pemerintah pusat hanya 102 orang per tahun di Kota Palopo. Dengan kuota sekecil itu, rata-rata calon jemaah harus menunggu sekitar 23 tahun untuk bisa berangkat,” ucapnya.
Lamanya masa tunggu inilah yang menjadi potret nyata perjuangan calon jemaah. Mereka mendaftar dengan menyetor dana awal sebesar Rp 25 juta, sebuah syarat utama agar nama mereka resmi masuk dalam sistem antrean.
“Setoran awal menjadi syarat utama agar nama calon jemaah masuk daftar tunggu resmi. Biaya awal untuk pendaftaran haji belum berubah, masih sebesar Rp 25 juta,” ujar Sirajuddin.
Namun, di sisi lain, antrean panjang inilah yang kerap membuka celah bagi praktik lancung. Perjuangan dan kesabaran puluhan tahun dari jemaah seperti Mamma Karombang dan kawan-kawan terasa kontras dengan terungkapnya kasus korupsi kuota haji di tingkat Kementerian Agama RI.
Kasus tersebut menunjukkan bagaimana oknum-oknum tidak bertanggung jawab diduga "menjual" atau memanipulasi kuota, memberikan jalan pintas bagi mereka yang mampu membayar lebih dan mengorbankan hak jemaah yang telah puluhan tahun menunggu giliran secara sah.
Harapan di Ujung Penantian
Bagi sebagian besar pendaftar, kemampuan finansial menjadi faktor utama kapan mereka bisa mulai menabung dan mendaftar.
“Saya lihat pendaftar itu tergantung dari keadaan keuangan masing-masing. Jadi yang keuangannya bagus atau cepat mapan, yah cepat juga mendaftar. Tapi tidak sedikit juga yang baru bisa mendaftar di umur-umur tua,” tutur Sirajuddin.
Empat jemaah lansia di Palopo adalah bukti nyata dari kesabaran dan kepatuhan pada prosedur. Prioritas yang mereka dapatkan adalah buah dari penantian panjang yang sesuai aturan.
Namun, kisah mereka juga menjadi pengingat keras bagi pemerintah, bahwa di tengah setiap kabar baik tentang prioritas lansia, ada bayang-bayang ketidakadilan akibat sistem yang bocor. Memastikan integritas dan transparansi kuota haji adalah tugas mendesak, agar tak ada lagi jemaah yang penantiannya disalip oleh praktik korupsi.