Membongkar Jaringan Narkoba di Balik Jeruji: Modus Napi Lapas Palopo Kendalikan Peredaran Sabu



PALOPO - Bisnis narkotika seolah tak mengenal batas. Bahkan jeruji besi yang sejatinya menjadi tembok penghalang justru kerap disulap menjadi markas kendali jaringan peredaran barang haram. Fakta itulah yang kembali terungkap di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, saat Satuan Reserse Narkoba Polres Palopo membongkar praktik peredaran sabu yang dikendalikan seorang narapidana dari dalam Lapas Kelas II A Palopo.


Dalam operasi yang digelar secara intensif sejak Rabu (11/6/2025) malam hingga Kamis (12/6/2025) dini hari, polisi berhasil mengamankan tiga orang pria yang diduga menjadi bagian dari rantai distribusi narkotika tersebut. Mereka adalah HS (27), FR (40), dan AR (36), masing-masing diamankan di tiga lokasi berbeda di wilayah hukum Polres Palopo.


Penelusuran Berantai dari Pinggir Jalan ke Lapas

Operasi dimulai pada Rabu malam sekitar pukul 22.00 WITA. Petugas Satresnarkoba yang tengah melakukan patroli rutin di Lorong Home Base, Kelurahan Batu Walenrang, Kecamatan Telluwanua, mencurigai gerak-gerik seorang pria muda yang berdiri di pinggir jalan. Pria tersebut kemudian diketahui berinisial HS, warga Kelurahan Mancani.


Saat dilakukan penggeledahan, polisi mendapati tiga sachet sabu yang disembunyikan dalam bungkus rokok serta saku celananya. Total berat narkotika tersebut mencapai 1,18 gram. Tanpa perlawanan, HS langsung diamankan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.


Tak berhenti di situ, petugas kemudian melakukan pengembangan. Masih di kawasan Lorong Home Base, polisi bergerak ke rumah FR (40), sekitar pukul 22.45 WITA. Dari lokasi tersebut, polisi menemukan alat isap sabu (bong) serta kaca pirex yang masih menyisakan residu sabu. FR yang diduga sebagai pengguna, turut diamankan.


Benang merah kasus ini kian terungkap saat petugas kembali melanjutkan pengembangan pada Kamis dini hari sekitar pukul 01.00 WITA. Kali ini, giliran AR (36), warga Kelurahan Buntu Datu, yang diciduk di Jalan Dr. Ratulangi. Dari tangan AR, polisi menyita sebuah ponsel yang belakangan diketahui menjadi alat transaksi narkotika.


Rantai Perintah dari Balik Lapas

Interogasi intensif terhadap para tersangka akhirnya membuka tabir peran seorang aktor intelektual di balik kasus ini: narapidana berinisial AF, yang kini tengah menjalani hukuman di Lapas Kelas II A Palopo.


HS mengaku membeli sabu tersebut dari AR seharga Rp800 ribu dengan sistem bayar di tempat menggunakan aplikasi Gopay. Adapun nomor rekening digital yang digunakan atas nama Achmad Fauzi Rum. Transaksi tersebut berlangsung secara langsung (COD) di sekitar Jalan Dr. Ratulangi.


Sementara itu, AR mengungkap peran yang lebih kompleks. Ia mengaku hanyalah kurir yang menerima perintah dari AF, sang narapidana. Segala komunikasi transaksi dilakukan lewat aplikasi WhatsApp, dengan kontak khusus yang disimpan AR sebagai "Ungke’ chance." Setiap pengiriman, AR menerima bayaran antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.


"Setiap kali disuruh antar, saya dikirimi titik lokasi dan nomor telepon pembeli. Setelah transaksi selesai, saya laporkan lewat chat," ungkap AR di hadapan penyidik.


Modus Lama yang Terus Berulang

Pengungkapan kasus ini mempertegas betapa jaringan peredaran narkotika kerap memanfaatkan narapidana sebagai pengendali dari dalam lapas. Fenomena seperti ini sejatinya bukan barang baru di Indonesia. Keterbatasan pengawasan, adanya celah penyelundupan alat komunikasi, serta lemahnya pengendalian internal di sebagian lembaga pemasyarakatan menjadi pintu masuk bagi maraknya praktik peredaran narkoba dari balik tembok penjara.


"Ini bukti bahwa jaringan narkotika masih bisa dikendalikan dari balik jeruji. Kami akan bekerja sama dengan pihak Lapas untuk mengusut peran narapidana tersebut," tegas Kasat Narkoba Polres Palopo, Iptu Abdul Majid.


Menurut Abdul Majid, pihaknya terus mengembangkan penyelidikan untuk membongkar secara utuh jaringan yang melibatkan AF serta kemungkinan adanya kaki tangan lain di luar maupun di dalam lapas.


Barang Bukti dan Ancaman Hukuman Berat

Dalam operasi tersebut, selain tiga sachet sabu seberat 1,18 gram, polisi turut menyita satu bungkus rokok yang digunakan untuk menyembunyikan sabu, dua unit ponsel, alat isap (bong), serta kaca pirex yang mengandung sisa sabu.


Kini, ketiga tersangka mendekam di Mapolres Palopo. Mereka dijerat dengan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) subsider Pasal 127 huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancaman hukuman maksimal hingga 20 tahun penjara membayangi ketiganya.


Potret Buram Lapas dan Upaya Reformasi

Kasus ini kembali menyoroti persoalan lama di lembaga pemasyarakatan: bagaimana narapidana justru mampu mengontrol peredaran narkoba dari dalam ruang tahanan yang seharusnya steril dari kejahatan.


Berulangnya kasus serupa di berbagai daerah kian menegaskan pentingnya reformasi total dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dari pengawasan peredaran ponsel, pemutusan akses komunikasi ilegal, hingga pembenahan integritas aparat pemasyarakatan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai.


“Lapas memang menjadi episentrum baru dalam pengendalian narkotika. Bila pengawasan di dalamnya lemah, praktik ini akan terus berlangsung,” kata salah seorang pemerhati hukum pidana, yang enggan disebutkan namanya.

Kasus di Palopo kali ini kembali menjadi alarm keras bahwa perang melawan narkotika bukan hanya di jalanan, tetapi juga harus menyasar ke dalam sistem pemasyarakatan itu sendiri.

أحدث أقدم