Pedagang Pakaian Bekas di Palopo Resah, Gantungkan Hidup pada Usaha “Cakar”


PALOPO - Di sudut pasar Pusat Niaga (PNP) Kota Palopo, Sulawesi Selatan, deretan pedagang dan pakaian berwarna-warni tergantung rapat di tiang besi. Sebagian lainnya menumpuk di meja kayu sederhana, menunggu tangan-tangan pembeli yang datang mencari baju murah.


Dari balik tumpukan itu, suara lembut seorang perempuan terdengar memanggil calon pembeli.


“Silakan, Kak… murah ada lima pulu ribu tiga,” kata Indah (37), sambil menata celana jeans bekas yang digantung.


Sudah lebih dari enam tahun Indah menjalani hidup sebagai pedagang pakaian bekas, atau di Palopo lebih dikenal dengan sebutan cakar  singkatan dari cap karung.


Pagi baginya berarti membuka lapak di antara hiruk-pikuk pedagang lain. Sore hari, ia pulang membawa uang pas-pasan, cukup untuk membeli beras, lauk, dan sesekali kebutuhan sekolah anak-anaknya.


“Saya hidup dari usaha cakar ini. Dari sinilah saya biayai lima anak sekolah, dari TK sampai SMA,” ucap Indah dengan suara pelan namun mantap.


Kekhawatiran yang Mulai Muncul

Beberapa bulan terakhir, kabar tentang larangan impor pakaian bekas kembali mencuat. Pemerintah pusat menegaskan akan menertibkan peredaran pakaian bekas impor karena dianggap melanggar aturan dan bisa berdampak pada industri tekstil nasional.


Bagi Indah, kabar itu terdengar menakutkan. Ia memang tak tahu pasti asal-usul barang yang ia jual, namun yang ia tahu: dari sanalah dapurnya tetap mengepul.


“Jangan ditiadakan, kami hanya pedagang kecil. Kalau ditiadakan, kami mau kerja apa?” ujarnya. 


“Belum ada pemberitahuan resmi memang, tapi kalau benar ditutup, kami pasti susah.” Tambahnya.


Di pasar tempat Indah berjualan, ada puluhan pedagang yang bernasib sama. Sebagian sudah belasan  tahun menekuni usaha ini. Mereka membeli bal pakaian dari Makassar, lalu memilah dan menjualnya satu per satu.


Harga satu potong baju bisa semurah Rp 20.000. Meski untungnya tipis, barang seperti ini tetap dicari.


“Pembeli tidak menentu, kadang ramai, kadang sepi. Tapi tetap saja ada yang cari, karena murah dan masih bagus,” tutur Indah sambil melipat baju anak berwarna biru muda.


Antara Bertahan dan Berubah

Di tengah dinamika kebijakan itu, Indah tetap membuka lapaknya setiap pagi. Ia tak ingin berandai-andai terlalu jauh. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah bertahan.


“Kalau usaha ini ditutup, saya tidak tahu lagi harus kerja apa,” tuturnya menatap tumpukan pakaian yang sebagian mulai memudar warnanya.


Ia sadar, mungkin suatu hari pemerintah akan benar-benar melarang peredaran cakar. Namun sebelum itu terjadi, Indah berharap ada tangan-tangan yang mau memikirkan nasib pedagang kecil sepertinya.


“Kami bukan orang besar, hanya mau hidup layak. Kalau mau ditutup, tolong beri kami jalan lain,” ujarnya lirih.


Di bawah tenda biru yang mulai pudar, Indah kembali menata baju-baju bekas itu, bagi sebagian orang, itu hanya pakaian lama.


Tapi bagi Indah, di setiap helainya tersimpan harapan untuk bertahan  di antara kerasnya hidup dan kebijakan yang belum berpihak sepenuhnya.


Suara dari Jakarta: Larangan Tetap Berlaku

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga mengatakan pemerintah tidak akan mentolerir praktik impor pakaian ilegal yang dapat merugikan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) serta industri tekstil nasional. 


Kementerian Keuangan memang berencana menindak tegas praktik impor pakaian bekas ilegal. Pasalnya, impor pakaian kerap menekan industri tekstil nasional.


Langkah Menkeu bukan hanya bentuk penegakan hukum, tetapi juga bagian dari gerakan pemulihan integritas ekonomi yang menyentuh akar persoalan ketimpangan di sektor industri padat karya. 


“Hari ini, Jumat (31/10/2025), saya melakukan kunjungan lapangan ke Tempat Penimbunan Pabean di Cikarang, Jawa Barat, memastikan pengawasan terhadap rokok ilegal dan pakaian impor berjalan efektif,” ujar Purbaya melalui akun TikTok resminya, dikutip pada Minggu (2/11/2025).


Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak menampik bahwa memang ada penyeludupan barang impor di Indonesia, salah satunya baju bekas. 

Menurut Airlangga, baju bekas memang masuk kategori barang yang tidak boleh diimpor, dan aturan tersebut sudah ada dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). 


"Baju bekas selalu tidak boleh impor. Jadi regulasinya selalu tidak boleh impor," ujarnya dalam CEO Insight rangkaian menuju 16th Kompas100 CEO Forum powered by PLN dengan tema “Menyatukan Arah Indonesia Maju: Energi, Investasi, Talenta, dan Keberlanjutan” pada Selasa (4/11/2025).


Airlangga mengakui masih ada sejumlah kebocoran dalam praktik impor yang perlu segera ditertibkan.


Ia menegaskan bahwa aturan terkait hal tersebut sudah bersifat final dan mengikat, sehingga tidak boleh lagi dilanggar.


Menanggapi dugaan munculnya modus baru impor pakaian tanpa label, Airlangga menyatakan akan melakukan pengecekan lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya.



أحدث أقدم