SPR Indonesia Kecam Lambannya Penanganan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dokter di Luwu

PALOPO - Serikat Pengorganisasian Rakyat Indonesia (SPR Indonesia) mengecam keras lambannya proses penanganan hukum oleh Polres Luwu dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh seorang dokter gigi di RSUD Batara Guru Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.


Pelaku berinisial JHS, seorang dokter spesialis gigi dan mulut, diduga melakukan tindakan cabul terhadap pasien perempuan saat korban menjalani perawatan pasca operasi pencabutan gigi bungsu. Peristiwa ini terjadi di ruang rawat inap Asoka 2 sekitar pukul 06.00 WITA, di luar jadwal kunjungan medis yang lazim dilakukan pada pukul 09.00 WITA.


Setelah melakukan pemeriksaan awal bersama perawat, JHS disebut kembali masuk sendirian ke kamar pasien, menutup pintu, lalu memberikan sebatang cokelat merek SilverQueen kepada korban sebelum diduga melakukan tindakan pelecehan. Korban yang masih di bawah umur tidak mampu melawan akibat mengalami tonic immobility, kondisi psikologis yang membuat tubuh membeku karena trauma.


“Sebelum meninggalkan ruangan, pelaku bahkan sempat berkata kepada korban: ‘Jangan tanya ibu–orang ya,’” kata Yertin Ratu, anggota SPR Indonesia dalam keterangan resminya, Rabu (6/8/2025).


Orang tua korban telah melaporkan kejadian ini ke Polres Luwu dengan nomor laporan LP/B/194/2025/SPKT/POLRES LUWU/POLDA SULAWESI SELATAN. Hingga saat ini, sembilan orang saksi termasuk kakak korban telah diperiksa. Selain itu, penyidik juga telah menerima sejumlah barang bukti, termasuk surat pernyataan tertulis dari terduga pelaku bertanggal 1 Juli 2025 yang berisi janji tidak akan mengulangi perbuatannya.


Namun, SPR Indonesia menilai proses hukum berjalan sangat lambat dan tidak menunjukkan keseriusan dari aparat penegak hukum.


“Pertanyaan penyidik kepada korban seperti ‘kenapa tidak berteriak?’ atau ‘kenapa tidak melawan?’ justru memperlihatkan ketidakpekaan terhadap trauma yang dialami korban. Ini bentuk kegagalan dalam memahami psikologi kekerasan seksual,” kata Yertin.


Ia juga menyoroti tindakan tidak etis dari pelaku yang memberikan cokelat kepada korban pasca operasi, yang dinilai membahayakan kesehatan pasien dan melanggar kode etik kedokteran gigi.


"Pemberian cokelat setelah operasi menunjukkan bahwa pelaku secara sadar mengabaikan keselamatan pasien. Ini bisa dilihat sebagai mens rea atau niat jahat untuk memanipulasi korban, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” jelasnya.



SPR Indonesia juga mendesak agar penyidik memanggil Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk memberikan keterangan terkait kesesuaian tindakan pelaku dengan standar operasional prosedur (SOP) pelayanan medis.


Yertin menegaskan pihaknya menolak segala upaya penyelesaian melalui mekanisme restorative justice, mengingat korban adalah anak di bawah umur. Ia
merujuk pada Pasal 23 Undang-Undang TPKS yang menyebut bahwa penyelesaian di luar pengadilan tidak dapat dilakukan dalam kasus yang melibatkan anak.


“Kami mencurigai kelambanan ini sebagai bentuk pembiaran dan upaya membuka ruang damai yang sangat mencederai rasa keadilan korban. Patut diingat, Kabupaten Luwu merupakan daerah dengan kasus kekerasan seksual tertinggi kedua di Sulawesi Selatan,” tegasnya.


Lebih lanjut, SPR Indonesia juga mendesak agar keluarga korban—terutama ibu dan kakak korban—mendapat perlindungan dari potensi intimidasi, baik dari pihak rumah sakit, pelaku, maupun lingkungan sekitar.

SPR Indonesia menyampaikan empat tuntutan:

  1. Polres Luwu segera menetapkan JHS sebagai tersangka dan melakukan penahanan.

  2. Dinas Kesehatan dan RSUD Batara Guru memberikan klarifikasi serta sanksi administratif kepada pelaku.

  3. PDGI menjatuhkan sanksi etik dan memeriksa kesesuaian tindakan pelaku dengan kode etik profesi.

  4. Menteri Kesehatan dan Komnas Perempuan melakukan pemantauan khusus atas kasus ini serta menjamin perlindungan terhadap keluarga korban.

Previous Post Next Post