80 Tahun Merdeka, Warga Desa Posi di Luwu Masih Harus Menempuh 7 Km Demi Sinyal Ponsel


LUWU - Di tengah kemajuan teknologi, warga Desa Posi hanya bisa bermimpi tentang internet cepat. Bagi mereka, sinyal adalah kemewahan yang harus diperjuangkan.


Pagi itu, udara di Desa Posi, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, terasa sejuk. Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan. Di tengah ketenangan alam, ada pemandangan yang kontras: beberapa warga berjalan sambil menenteng ponsel, menuruni jalan desa menuju perbatasan.


Bukan untuk berolahraga atau berdagang, mereka mencari sesuatu yang bagi masyarakat perkotaan mungkin dianggap sepele—sinyal internet.


“Biar tengah malam, kalau ada hal penting, kami tetap ke sana,” kata Masanja Pabuang (33), warga setempat, Selasa (12/8/2025). Baginya, perjalanan sejauh 3 hingga 7 kilometer demi mendapatkan sinyal sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.


Internet ala kadarnya

Di desa ini, tak ada jaringan seluler yang memadai. Satu-satunya akses adalah jaringan WiFi lokal yang warga sebut “jaringan Firman”. Sumber koneksi ini disalurkan lewat kabel dari rumah ke rumah.


Namun, kualitasnya sering tak bisa diandalkan. Saat cuaca cerah, sinyal lumayan stabil. Tapi ketika hujan atau angin kencang, koneksi melambat atau bahkan hilang sama sekali.


Untuk menikmati jaringan ini, warga harus membeli voucher harian seharga Rp 5.000 hingga Rp 10.000. “Anak-anak beli voucher Rp 5.000 cuma dapat 10 jam. Kalau tugasnya belum selesai, ya beli lagi,” ujar Masanja.


Biaya pasang jaringan pun tak murah. “Sekitar Rp 350 ribu per rumah untuk kabelnya. Tapi tetap saja kadang bagus, kadang tidak,” kata Hasan, Kepala Dusun Bangkudu.


Dampak pada pendidikan dan ekonomi

Kondisi ini tak hanya menyulitkan komunikasi, tapi juga menghambat pendidikan dan aktivitas ekonomi. Saat pandemi Covid-19, para pelajar terpaksa belajar daring di desa tetangga, Tiromanda, ditemani orang tua dari pagi hingga malam.


“Saat itu kami harus menunggu anak-anak sampai selesai. Kalau tidak selesai sore, lanjut lagi sampai malam,” kenang Masanja.


Bagi pelaku usaha kecil, keterbatasan jaringan berarti peluang bisnis digital nyaris mustahil. Warga tak bisa mempromosikan produk secara online, bertransaksi lewat e-commerce, atau sekadar mengakses informasi harga pasar dengan cepat.


Infrastruktur ada, jaringan tak kunjung tiba

Ironisnya, infrastruktur fisik di Desa Posi tergolong memadai. Jalan beraspal menghubungkan desa ke ibu kota kecamatan, hanya 7 kilometer jauhnya. Listrik pun mengalir lancar. Namun, sinyal seluler tak kunjung hadir.


“Kami sudah berkali-kali berharap, tapi sampai sekarang belum ada perkembangan. Rasanya seperti belum merdeka sepenuhnya,” kata Hasan.


JFK Berjuang dari Senayan

Anggota DPR RI Komisi I, Irjen Pol (Purn) Frederik Kalalembang (JFK), mengakui bahwa masih ada daerah blank spot di Sulawesi Selatan, termasuk Desa Posi. Ia berjanji akan menyampaikan aspirasi warga kepada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).


“Jangan sampai dana besar untuk program jaringan justru mubazir karena tidak tepat sasaran. Lebih baik sedikit tapi fokus,” ujarnya.


Frederik juga menyoroti pentingnya memastikan bantuan internet gratis yang diberikan pemerintah benar-benar menyentuh kebutuhan warga. “Kita ingin kemerdekaan ini dirasakan dengan bisa membaca berita, mengakses informasi, dan belajar tanpa hambatan,” tambahnya.


Menanti kemerdekaan digital

Delapan puluh tahun setelah Proklamasi, warga Desa Posi masih menunggu hadirnya kemerdekaan digital. Di era ketika orang kota bisa menonton film, memesan makanan, dan bekerja dari rumah hanya dengan satu klik, mereka masih harus berjalan jauh demi sekadar mengirim pesan.


Bagi mereka, sinyal bukan sekadar teknologi, ia adalah jendela ke dunia luar, kesempatan belajar, dan sarana bertahan hidup di tengah modernisasi.


“Kalau nanti sinyal sudah ada di desa kami, mungkin rasanya seperti merdeka lagi,” kata Masanja, tersenyum tipis.

أحدث أقدم